Title: I Want To You Love Me
Author:
Han Rae Hwa
Rating:
PG-13/?
Genre:
Romance, Drama
Main
Cast:
-
Min Ah
Girl’s Day as Lee Shin Ji
-
Ahn Jae
Hyun
-
Soo Jin
Girl’s Day as Lee Shin Bi
*FF ini terinspirasi dari salah satu lagu Vierratale yang judulnya Kepergianmu.*
Shin
Ji POV
Aku
mengiringimu sampai akhir jalanmu, menempuh kehidupanmu yang terlihat bahagia,
namun juga mengenaskan saat kau menjemput ajalmu sendiri. Berat rasanya
menyadari kau pergi secepat yang kubayangkan. Secepat waktu yang terus berlalu
meninggalkan banyak kisah pedih dalam kehidupanku.
Disaat
terakhir aku melihat wajah tampanmu yang juga terlihat sangat pucat, dengan
kedua mata yang terpejam erat, membawa jiwamu terbang ke langit meninggalkan
hingar bingar kehidupan untuk selama-lamanya, dan tak akan pernah kembali.
Tangisku
mulai pecah. Ketika kau yang terbaring dengan jiwa yang tak lagi menyatu dalam
tubuhmu, mulai tertutup dengan kayu besar mengkilat berwarna cokelat yang
ukirannya terlihat sangat megah. Kau tak dapat lagi kulihat. Itulah terakhir
kali aku bisa melihatmu. Benar-benar melihatmu, meski kau sudah meninggal. Tak
dapat lagi mengucapkan salam perpisahan untukku. Itu membuatku sakit. Tapi yang
lebih membuatku sakit, adalah ketika segelintir orang yang berada
disekelilingku, menatapku dengan sinis. Tak sedikit yang mencibirku, “air mata
buaya”, “dia tidak pantas ada disini, seharusnya dia ikut pergi bersama Jae
Hyun. Tapi dia pergi sendirian ke neraka”, dan masih banyak hujatan yang mereka
ucapkan dibelakangku. Aku berusaha untuk tidak mempedulikannya meskipun rasa
sakit dihatiku telah menyeruak.
Inginnya
begitu. Ikut dengan Jae Hyun yang usdah terbang kelangit, bersama jiwa-jiwa
lain menghadap Tuhan. Tapi apa dayaku? Aku juga sempat berpikir untuk
mengakhiri hidupku dengan cara bunuh diri. Namun aku belum menemukan keberanian
atas niatanku itu.
Ketika
peti yang berisikan Jae Hyun didalamnya dibawa oleh beberapa petugas rumah
duka, aku berteriak dengan cukup histeris, “Gajima! Gajima! Aku ingin
bersamanya.. Aku ingin berada disisinya..” Seketika seisi ruangan menjadi
sedikit ramai. Ada yang menanggapi kata-kataku baru saja, “Sana pergi saja ikut
Jae Hyun! Dan terjun ke neraka! Dasar yeoja tak tau diri!” Itu jelas sekali
terdengar ditelingaku. Aku bisa merasakan seseorang yang mengatakan itu
menatapku dengan pandangan yang sangat tidak suka denganku, dengan kehadiranku
disini. Sungguh, rasanya aku ingin menggenggam kedua tangan Jae Hyun dengan
eratnya, dan tak akan kulepas. Jika Jae Hyun masih hidup, ia pasti akan
membelaku. Tidak, dia tidak membelaku. Tapi hanya menatap sinis orang-orang
yang terus menghujatku. Dengan begitu orang-orang yang sama tak tau dirinya
denganku itu akan bertekuk lutut dihadapanku dan Jae Hyun. Jae Hyun, aku tidak
rela.
Peti
itu semakin menjauh dari pandanganku. Ketika aku hendak mengejarnya, beberapa
orang menahanku untuk tidak menyentuh sedikitpun peti mati Jae Hyun seakan tidak
merelakannya. Aku tau Jae Hyun tidak tersenyum saat melihatku menangis seperti
ini. Ya, aku tau itu. Aku bisa merasakannya. Maka dengan sekuat tenagaku, aku
mencoba untuk merelakan keperginnya. Ya, aku merelakannya.
‘Takkan
pernah kulupakan dirimu. Takkan sanggup kulupakan semua.’ Gumamku dalam hati.
Sekelebat,
kabut putih seakan membawamu pergi dari sini. Dimana orang-orang kini
membenciku. Membawaku.. Ke sebuah kejadian yang kini membuatku dibenci oleh
banyak orang. Aku mengingatnya. Peristiwa yang seharusnya tak pernah terjadi.
Peristiwa yang tak membuatku seperti ini.
Flashback
Malam
ini turun hujan deras. Jae Hyun datang ke rumahku pukul tujuh malam. Sekujur
tubuhnya basah karena terguyur air hujan diluar. Ia tersenyum manis sambil
mengusap-usap kepalanya untuk sedikit mengusir air yang mulai menetes dari
ujung rambutnya ke lantai. Menyapaku yang membukakan pintu untuknya dengan
senyumannya itu. Dengan kantung plastik berukuran lumayan besar, Jae Hyun
melangkah masuk ke dalam, tepatnya ke ruang tengah, mengikutiku dari belakang.
Aku
masuk ke dalam kamar setelah mempersilahkannya duduk, untuk mengambil handuk.
Namun setelah aku kembali ke ruang tengah, senyumku yang tadinya merekah hebat,
kini tersapu oleh pandangan yang tak mengenakkan untuk kulihat. Jae Hyun sedang
duduk berdua di sofa bersama Shin Bi Eonni. Ia nampak antusias membasuh
sisa-sisa air hujan diwajah Jae Hyun penuh kelembutan dengan handuk yang lebih
dulu ia ambil. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku.
“Shin
Ji-ya, kemarilah..” Ujarnya yang sedikit membuatku terkejut, membuatku segera
menyembunyikan handuk yang kubawa. Aku mencoba untuk tersenyum dihadapan mereka
sambil menghampirinya dan duduk disofa yang berbeda.
Shin
Bi adalah Eonni ku. Satu-satunya saudara kandung yang masih kumiliki hingga
sekarang. Orang tuaku sudah meninggal sejak empat tahun yang lalu akibat kecelakaan.
Kini aku hanya tinggal berdua dengan Shin Bi. Tapi entah mengapa kehidupanku
menjadi lebih baik ketika hadirnya sosok Jae Hyun yang kian hari kian menghiasi
hari-hariku. Tidak begitu yang kumaksud. Sebenarnya Jae Hyun adalah calon kakak
iparku sejak Shin Bi dan Jae Hyun memulai untuk merangkai kisah cinta mereka
tiga tahun yang lalu. Lalu kemudian Jae Hyun bertunangan dengan Shin Bi setahun
setelahnya, dan mengajak Shin Bi untuk menikah.
Demi
apapun, aku yang lebih dulu bertemu dan kenal dengan Jae Hyun. Aku yang lebih
dulu menyebar benih-benih cinta. Seharusnya aku juga yang menuai hasil atas
benih-benih yang kutanam itu. Tapi Jae Hyun justru lebih tertarik dengan Shin
Bi setelah aku mengenalkannya padanya. Ada rasa sesal sudah mengenalkan mereka
satu sama lain. Walaupun begitu, aku masih bisa dekat dengannya semenjak mereka
berpacaran. Dengan begitu, aku bisa mencuri-curi waktu untuk bisa bersama-sama
dengan Jae Hyun, ketika Shin Bi tidak bersama kami. Tapi tetap saja, api
cemburu membutakan mata hatiku. Membuat aku melakukan yang seharusnya tidak
kulakukan.
*
Dua
hari berlalu begitu cepat. Dan aku bangun lebih awal dari biasanya. Kulirik kalender
yang bertengger didinding kamar sebelah kanan, tepat disamping bingkai foto aku
bersama Shin Bi dan Jae Hyun tengah tertawa bahagia, bersama. Di angka 31
terdapat sebuah lingkaran berwarna merah lekat yang aku buat satu minggu yang
lalu. Hari ini tanggal 31 Agustus, yang jatuh dihari Rabu. Tanggal dimana Shin
Bi dan Jae Hyun akan melangsungkan pernikahan. Mengikrarkan janji satu sama
lain didepan pendeta, dehadapan Tuhan. Kulirik sebentar bingkai foto itu. Dari
ketiga senyum itu akan menghilang satu senyuman. Yang hanya menjadi saksi atas
perjalanan cinta mereka.
Kubuka
selimut yang menutupi sebagian tubuhku kemudian aku beranjak dari tempat tidur.
Setelah itu aku berjalan menuju kamar mandi. Dingin. Air yang sangat sejuk
dipagi hari. Membuat mataku yang terasa masih mengantuk kini menjadi segar dan
tak dapat menutup mata kembali. Setelah mandi, aku membuka lemari dan mengambil
sebuah dress berwarna putih dengan banyak hiasan yang membuat dress nampak
terlihat mewah namun masih terkesan sederhana. Dress yang panjangnya hanya
selutut terus kupandangi sambil sedikit berkhayal.
“Seandainya
nanti aku yang menjadi pengantin wanitanya, hari ini aku pasti akan sangat
bahagia.” Gumamku sambil tersenyum centil. Namun senyum itu seketika lenyap
saat kembali memandangi dress itu yang kemudian segera kupakai lalu kugoreskan
pada wajahku beberapa alat rias yang terpajang rapih dimeja rias kamarku. Aku
beranjak kemudian memakai wedges
seusai memakai accessories.
Aku
mengunjungi gereja, menyusul Shin Bi yang sudah pergi terlebih dahulu, tadi
pagi. Sesampainya di gereja, aku menyambangi ruang rias pengantin wanita, yang
adalah kakakku sendiri. Lalu aku beranjak ke ruang rias laki-laki, yaitu Jae
Hyun, yang letaknya bersebrangan dengan ruang rias Shin Bi. Jae Hyun terlihat
sangat tampan. Membuatku makin mengagumi dan mencintainya, diam-diam. Aku
melangkah masuk ke dalam. Didalam ruangan hanya ada Jae Hyun dan aku.
Selebihnya tidak ada siapa-siapa lagi selain kami.
“Jae
Hyun-ah..” Aku sudah terbiasa memanggilnya dengan dua kata itu. Padahal umurnya
lebih tua satu tahun setengah dariku. Tapi Jae Hyun sama sekali tidak keberatan
dengan hal itu.
Ia
menoleh sambil merekahkan senyumnya ke arahku. Kedua tangannya sibuk
membetulkan pita yang menghiasi dada yang hampir ke lehernya. “Shin Ji-ya.. Kau
sangat cantik. Bahkan terlihat dewasa dengan memakai dress itu.”
“Geuraeyo?
Aaa, kau ini bisa saja. Kau juga terlihat sangat tampan memakai jas itu.” Aku
duduk di sebuah kursi yang bisa menampung tiga orang sambil mengapit erat kulit
permukaan kursinya. “Seandainya aku yang menjadi pengantin wanitanya. Aku pasti
akan sangat bahagia.”
“Jinjja?”
Jae Hyun melangkahkan kakinya, duduk dikursi yang ada dihadapanku, “Lantas,
Shin Bi mu bagaimana?”
“Memangnya
kau mau menikah denganku jika Shin Bi bukan kekasihmu? Tentu saja tidak.”
Jae
Hyun tidak menjawab. Ia memandangku seakan memberiku jawaban atas pertanyaanku,
yang pada akhirnya kujawab sendiri. Seketika suasana menjadi hening. Diam.
Hanya ada suara pendingin ruangan disalah satu dinding. Itupun suaranya tidak
terlalu jelas.
“Saranghaeyo..”
Ujarku memecah keheningan sambil menatap Jae Hyun dengan lekat. Bisa kurasakan
mataku mulai berbinar dan terdapat sedikit air mata yang mungkin akan menetes.
“Heh?”
Jae Hyun menoleh. Membalas tatapanku dengan bingung.
“Aku
mencintaimu, Ahn Jae Hyun.” Ujarku sekali lagi, dengan menekankan tiga kata,
nama panjang Jae Hyun.
“Mwo?
Kau ini bicara apa, eoh? Aku ini calon suami Shin Bi, calon kakak iparmu..”
“Lalu
kenapa? Salah aku mencintaimu? Mencintai seorang namja yang sudah memiliki
seorang kekasih?” Aku bangkit dari kursi yang ku duduki. Sambil mengalihkan
pandangan, aku mengatakan, “Aku mencintaimu dari dulu. Sejak kau dan Shin Bi
belum saling mengenal. Menyesal karena aku sudah mengenalkanmu pada Shin Bi.
Menyesal karena cintaku kini justru termiliki oleh orang lain. Dimiliki oleh
kakak kandungku sendiri.”
Jae
Hyun ikut bangkit dari kursinya, sambil memandangku. Bingung. Kutatap Jae Hyun
dengan air mataku yang kini mulai menetes. Setetes demi tetes.
“Jae
Hyun-ah.. Tak bisakah kau mengerti akan semua sikap dan perilaku ku selama ini
terhadap dirimu? Tidakkah kau menyadarinya sedikit saja?”
“Katakan
padaku kalau kau tengah berbohong padaku. Iya kan?” kata-katanya itu sungguh tegas.
Mengisyaratkan akan ketidak percayaan atas pengakuanku padanya baru saja.
“Anio!
Aku tidak bercanda. Aku ingin memilikimu
Jae Hyun..” Selangkah kakiku hendak mendekatinya, “Katakan padaku kalau kau
juga ingin memilikiku, Jae Hyun. Katakan kau mencintaiku, bukan mencintai Shin
Bi!” Kutinggikan nada bicaraku padanya, yang semakin mendekat berada
dihadapanku. Namun ia terus melangkah mundur, seakan menjauh dariku. “Aku tidak
bisa hidup jika tak bersamamu. Hanya kau yang aku cintai Jae Hyun. Karena kau yang
sudah membuat hidupku berubah menjadi lebih baik. Setelah kedua orang tuaku
meninggal..”
“Ani
Shin Ji! Aku akan menikah dengan kakakmu. Aku mencintainya. Bahkan aku sudah
menganggapmu sebagai adikku sendiri. Mianhae, aku tidak bisa Shin Ji..”
Aku
tersenyum kecut, mengalihkan pandangan darinya ke sebuah keranjang buah yang
berada diatas meja. Dalam keranjang buah itu terdapat pisau yang nampak tajam.
Aku meraih pisau itu kemudian menghantamkan ujung pisau ke salah satu buah
apel. Kutatap Jae Hyun seakan harimau yang ingin segera menghantam sebuah
kelinci yang berusaha untuk kabur namun kakinya tertahan.
Aku
mencabut pisau dari apel itu kemudian menggenggamnya dengan erat. Langkahku
semakin mendekat dengan Jae Hyun yang berdiri tersandar didinding. “Kau... Kau
mau apa?”
Salah
satu tanganku merangkul pundaknya. Kedua mata dihadapanku menatapku dengan
tatapan takut.
“Mwo?
Shin Ji-ya! Jangan berlaku konyol!”
“Kau
tidak mau aku melakukan apapun padamu? Maka dari itu, cintailah aku Jae Hyun!
Cintailah aku seperti kau mencintai Shin Bi!” Teriakku tepat di depan wajah Jae
Hyun yang hanya berjarak beberapa centi meter dari wajahku.
“Mianhaeyo..
Tidak bisa.. Aku sudah terlalu dalam mencintai Shin Bi. Cinta pertamaku.
Aku benar-benar tidak bisa.”
“Jika
kau tidak bisa mencintaiku.. Maka tidak ada yang boleh memilikimu selain aku.”
“Shin
Ji-ya.. A..” Mata Jae Hyun membelalak. Mulutnya sedikit menganga. Aku bisa
merasakan debar jantungnya yang begitu kencang dan cepat, setelah kutancapkan
pisau yang sedari tadi berada di genggamanku.
Tiba-tiba,
ada sesuatu yang seakan menyadarkanku. Aku terpaku pada darah yang mengucur
dari perut Jae Hyun dengan pisau yang masih tertancap. Perlahan darah itu mulai
menyebar ke tanganku. Buru-buru aku melepaskan pisau itu dari perut Jae Hyun.
Tanganku yang mulai gemetaran menjatuhkan pisau itu dengan sengaja sambil terus
memperhatikannya. Sementara Jae Hyun terkapar setelah berusaha menahan rasa
sakit diperutnya yang akhirnya tak tertahankan.
Aku
berjalan menjauh dari Jae Hyun, namun Shin Bi menangkap basah diriku yang telah
membunuh calon suaminya. Kedua kakiku menjadi lemas dan ikut gemetar. Bahkan
dadaku terasa sangat sesak saat menyaksikan Jae Hyun meninggal tepat
dihadapanku, yang sekarang tengah didekap oleh Shin Bi dengan tangisnya yang
mulai pecah. Orang-orang berdatangan, masuk ke dalam ruangan setelah mendengar
teriakkan Shin Bi yang histeris. Aku hanya bisa diam terpaku ditempatku, yang
kemudian segera di amankan oleh beberapa kerabat Jae Hyun. Mereka segera
membawaku ke kantor polisi tanpa ada yang berani mencegahku, sekalipun Shin Bi.
Bisa kulihat ia hanya menatapku dari tempatnya. Menatapku dengan tatapan yang
seakan tidak rela untuk melihatku lagi.
Adik
siapa yang tega membunuh calon suami kakaknya sendiri, membunuh calon kakak iparnya,
membunuh namja yang sangat dia cintai. Bahkan cinta telah membutakan segalanya.
Seakan cinta tidak lagi membutuhkan sebuah logika, atas apa yang telah
kulakukan ini.
Aku
tau Shin Bi sangatlah terpukul dengan kejadian ini. Pasti ia dan keluarga Jae
Hyun sudah membenciku. Atas pembunuhan yang kulakukan terhadap Jae Hyun. Namja
yang memiliki paras tampan juga hati yang baik dan lembut. Selembut kapas yang
seakan belum ternodai.
Setelah
di proses atas perkara pembunuhan, aku akan dipenjara selama puluhan tahun,
mungkin seumur hidupku. Tapi aku memiliki sebuah permintaan pada pihak
kepolisian untuk tetap bisa menyaksikan upacara pemakaman Jae Hyun. Dan mereka
mengizinkannya. Setidaknya aku bisa melihat Jae Hyun yang tak lagi merasa
kesakitan atas luka yang sudah kutorehkan disalah satu anggota tubuhnya, hingga
merenggut nyawanya.
Flashback
end
Upacara
pemakaman Jae Hyun telah kulalui. Kini beberapa petugas dari kepolisian kembali
membawaku untuk memasukkanku ke penjara. Bahkan Shin Bi pun tak membela sedikitpun
atas adik kandungnya ini. Aku tau ia pasti sangat kecewa berat padaku. Ya, aku
tau aku salah. Sangat bersalah. Dan sekarang aku pun menyesalinya, juga aku
akan bertanggung jawab atas kesalahan, bahkan dosa yang telah ku perbuat.
*
Aku
berusaha untuk menjalani hidupku yang sudah kacau ini dengan tenang. Bahkan aku
pun sudah berusaha keras untuk melupakan Jae Hyun. Namun seakan tak terima
dengan apa yang kuperbuat, Jae Hyun selalu datang menghampiriku lewat mimpi. Bahkan
beberapa kali sempat menampakkan dirinya diwaktu-waktu tertentu. Jae Hyun
seperti ingin membalas dendam padaku. Tidak hanya Jae Hyun, melainkan Shin Bi
pun melakukan hal yang sama. Mereka kini selalui menghantui juga selalu
mengusik kehidupanku. Semenjak kematian mereka, hingga hari ini.
Satu
bulan yang lalu, aku dikabarkan oleh seseorang kalau Shin Bi meninggal karena
bunuh diri. Ia tidak bisa menerima kenyataan kalau calon suaminya meninggal
ditangan adik kandungnya sendiri. Bahkan sedikitpun rasa kasihan tak kunjung
kudapatkan darinya. Aku, yang jelas-jelas adalah adik kandungnya sendiri seakan
tak pernah dianggapnya lagi sebagai adik. Ia hanya memandangku sebagai seorang
pembunuh. Aku tau bagaimana perasaan Shin Bi. Aku khilaf atas apa yang
kulakukan ini. Benar-benar khilaf dan menyesalinya.
Alih-alih
ingin bertanggung jawab, mereka justru membuat hidupku menjadi tidak tenang. Dengan
selalu dihantui oleh mereka, aku selalu ceroboh melakukan sebuah pekerjaan. Bahkan
aku sering sekali memecahkan piring karena tidak fokus dengan pekerjaanku
akibat gangguan-gangguan dari mereka.
Shin
Jin POV end
Author
POV
Satu
bulan berlalu, Shin Ji masih bisa untuk bertahan dari gangguan-gangguan dua
orang yang telah meninggal itu. Namun seiring berjalannya waktu, Shin Ji
semakin tidak tahan.
Suatu
malam, Shin Ji tidak bisa tidur. Ia bergerak kesana kemari, ke kanan dan ke kiri.
Namun perasaannya sangat gundah. Akhirnya ia bangun karena dadanya terasa
sesak. Rasanya ingin minum, namun didalam sel tahanannya tidak ada minuman. Bahkan
tidak ada apa-apa. Hanya sebuah tikar tipis dan bantal yang sudah usang
termakan oleh waktu. Shin Ji sangat haus, hingga ia ingin memanggil seorang
petugas untuk mengambilkannya minum. Tapi Shin Ji menepis keinginannya itu.
Matanya seketika terbelalak melihat dua orang yang sangat familiar dimatanya
menghampiri Shin Ji dengan tatapan yang tajam. Seperti pisau yang tengah dibawa
oleh seseorang diantaranya. Mereka berjalan mendekati Shin Ji, yang berusaha
mundur sambil memandang kedua orang itu dengan takut. Napasnya makin
ternegah-engah.
Sret..
Sret..
Ia
terus mengesot mundur, yang membuat celananya menjadi kotor. Shin Ji tak
mempedulikannya. Ia hanya bisa terdiam. Ingin menyuruh kedua orang itu pergi
namun mulutnya seakan bisu.
“Ja-jangan..
Jangan..” Gumam Shin Ji pelan. Ia terus mundur, namun dinding besar nan tinggi
menghentikannya. Kedua tangannya meraba-raba dinging, seakan ingin mendorong
dinding itu dengan sisa tenaga yang masih ia miliki. “Ma-mau.. Mau apa kalian?”
Tanya Shin Ji terbata-bata.
“Aku..
Hanya ingin kau mati, Lee Shin Ji.” Ujar seorang namja dengan berbalutkan jas
pernikahan, sambil menggenggam erat sebilah pisau.
“Kau
harus membayar atas apa yang sudah kau lakukan. Kau harus membayar semuanya!”
Ujar seorang yeoja disamping namja itu, yang meninggikan suaranya. Ia memakai
sebuah gaun pengantin berwarna putih namun sudah ternodai dengan darah
dibeberapa bagian, seperti jas yang tengah dikenakan oleh namja disebelahnya.
“Ja-jangan..
Jangan.. Pergi!” Shin Ji berusaha berteriak. Kedua orang yang ada dihadapannya
itu saling bertatapan. Mereka terus mendekati Shin Ji. Kemudian..
“Aaaaaaa………………”
Shin Ji berteriak sekuat tenaga. Ia terbangun dari tidurnya dengan napas yang
tak beraturan.
“Hey,
bisakah kau diam, eoh? Berisik sekali!” Ujar seorang narapidana lain yang
sedang tertidur tak jauh dari Shin Ji. Shin Ji menatapnya sebentar kemudian
memeriksa perutnya.
‘Tak
ada darah?’ Batin Shin Ji. Ia melongok ke samping kanan dan kirinya. Semuanya dalam
keadaan baik-baik saja. Shin Ji berusaha mengingat mimpinya semalam. Dua orang
yang sangat ia kenal mendatanginya dan mencoba untuk membunuhnya. Membunuh dengan
cara yang sama, seperti ia membunuh Jae Hyun. Ia menghela napas panjang sambil
mengusap wajah yang mulai basah karena keringat, dengan kedua tangannya.
Pagi harinya..
Shin
Ji memohon kepada seorang petugas untuk meminta mengantarkannya ke makam kedua
orang terdekatnya. Sudah berkali-kali Shin Ji berusaha memohon. Namun sepertinya
petugas itu ragu. Bukan, ia takut kalau Shin Ji akan kabur.
“Aku
janji tidak akan kabur. Aku hanya ingin meminta maaf pada mereka. Aku hanya
ingin mengatakan sesuatu padanya.”
“Mwo?
Bagaimana bisa kau meminta maaf pada orang yang sudah mati?” Ujar petugas itu,
meremehkan Shin Ji.
“Mereka
memang sudah mati. Tapi aku yakin mereka pasti masih bisa mendengarnya, di surga.
Kumohon..” Pinta Shin Ji sekali lagi.
“Hhh,
baiklah.. Aku dan beberapa petugas kepolisian yang lain akan mengantarkanmu. Janji
tidak akan kabur, dan kau hanya memiliki waktu satu jam untuk mengunjungi makam
kedua kakakmu itu.”
Shin
Ji merekahkan senyumnya sambil mengangguk mengiyakan persyaratan tidak langsung
dari petugas itu.
Siangnya..
Dengan
ditemani oleh tiga orang petugas kepolisian, Shin Ji menepati janjinya untuk
datang ke makam Shin Bi dan Jae Hyun yang bersampingan. Ia tersenyum tipis
sambil memandang keudia nisan itu.
“Aku
benar-benar minta maaf pada kalian. Aku tau, aku sangat berdosa telah merenggut
nyawa Jae Hyun. Dan secara tidak langsung, aku juga telah membuatmu meninggal
Shin Bi. Eonni, aku sangat mencintaimu. Saat itu aku benar-benar khilaf. Karena
cinta yang egois telah merusak sebuah cinta yang tulus. Jeongmal mianhaeyo.. Tolong..
Jangan ganggu aku lagi. Aku ingin hidup dengan tenang. Aku akan bertanggung
jawab atas apa yang sudah kuperbuat. Aku janji aku akan bertanggung jawab. Jadi,
kumohon.. Beristirahatlah dengan tenang di Surga. Aku mencintai kalian.. Sangat
mencintai kalian.” Shin Ji membungkuk memberikan salam perpisahan pada kedua
makam itu sembari menaruh dua buah buket bunga di masing-masing makamnya. Ia tersnyum
kecil lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke tiga petugas kepolisian.
Tiga
petugas kepolisian itu memborgol tangan Shin Ji dan membawanya menuju mobil. Namun
belum sampai mobil, langkahnya terhenti ketika sebuah cahaya menyilaukan kedua
matanya. Dua orang yang ia sayangi tengah tersenyum ke arahnya sambil
bergandengan tangan. Shin Ji tersenyum ke arah mereka. Kemudian mereka saling
bertukar tatap lalu menghilang dengan sekejap. Shin Ji pun melangkahkan kakinya
kembali menuju mobil, untuk tetap menjalani masa tahanannya selama
bertahun-tahun, mempertanggung jawabkan perbuatannya. Setidaknya Shin Ji lega
karena sudah mengungkapkan isi hatinya yang selama ini mengganjal pada Jae Hyun
dan Shin Bi, meski lewat sebuah makam. Namun kini perasaan gundah yang mengganjal
dihatinya pun kini sirna setelah melihat kedua senyuman manis yang Jae Hyun dan
Shin Bi utarakan pada Shin Ji.
The end………………….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar