Sabtu, 07 Februari 2015

[FF] I Want To You Love Me





























Title: I Want To You Love Me
Author: Han Rae Hwa
Rating: PG-13/?
Genre: Romance, Drama
Main Cast:
-          Min Ah Girl’s Day as Lee Shin Ji
-          Ahn Jae Hyun
-          Soo Jin Girl’s Day as Lee Shin Bi


*FF ini terinspirasi dari salah satu lagu Vierratale yang judulnya Kepergianmu.*



Shin Ji POV

        Aku mengiringimu sampai akhir jalanmu, menempuh kehidupanmu yang terlihat bahagia, namun juga mengenaskan saat kau menjemput ajalmu sendiri. Berat rasanya menyadari kau pergi secepat yang kubayangkan. Secepat waktu yang terus berlalu meninggalkan banyak kisah pedih dalam kehidupanku.
        Disaat terakhir aku melihat wajah tampanmu yang juga terlihat sangat pucat, dengan kedua mata yang terpejam erat, membawa jiwamu terbang ke langit meninggalkan hingar bingar kehidupan untuk selama-lamanya, dan tak akan pernah kembali.
        Tangisku mulai pecah. Ketika kau yang terbaring dengan jiwa yang tak lagi menyatu dalam tubuhmu, mulai tertutup dengan kayu besar mengkilat berwarna cokelat yang ukirannya terlihat sangat megah. Kau tak dapat lagi kulihat. Itulah terakhir kali aku bisa melihatmu. Benar-benar melihatmu, meski kau sudah meninggal. Tak dapat lagi mengucapkan salam perpisahan untukku. Itu membuatku sakit. Tapi yang lebih membuatku sakit, adalah ketika segelintir orang yang berada disekelilingku, menatapku dengan sinis. Tak sedikit yang mencibirku, “air mata buaya”, “dia tidak pantas ada disini, seharusnya dia ikut pergi bersama Jae Hyun. Tapi dia pergi sendirian ke neraka”, dan masih banyak hujatan yang mereka ucapkan dibelakangku. Aku berusaha untuk tidak mempedulikannya meskipun rasa sakit dihatiku telah menyeruak.
        Inginnya begitu. Ikut dengan Jae Hyun yang usdah terbang kelangit, bersama jiwa-jiwa lain menghadap Tuhan. Tapi apa dayaku? Aku juga sempat berpikir untuk mengakhiri hidupku dengan cara bunuh diri. Namun aku belum menemukan keberanian atas niatanku itu.
        Ketika peti yang berisikan Jae Hyun didalamnya dibawa oleh beberapa petugas rumah duka, aku berteriak dengan cukup histeris, “Gajima! Gajima! Aku ingin bersamanya.. Aku ingin berada disisinya..” Seketika seisi ruangan menjadi sedikit ramai. Ada yang menanggapi kata-kataku baru saja, “Sana pergi saja ikut Jae Hyun! Dan terjun ke neraka! Dasar yeoja tak tau diri!” Itu jelas sekali terdengar ditelingaku. Aku bisa merasakan seseorang yang mengatakan itu menatapku dengan pandangan yang sangat tidak suka denganku, dengan kehadiranku disini. Sungguh, rasanya aku ingin menggenggam kedua tangan Jae Hyun dengan eratnya, dan tak akan kulepas. Jika Jae Hyun masih hidup, ia pasti akan membelaku. Tidak, dia tidak membelaku. Tapi hanya menatap sinis orang-orang yang terus menghujatku. Dengan begitu orang-orang yang sama tak tau dirinya denganku itu akan bertekuk lutut dihadapanku dan Jae Hyun. Jae Hyun, aku tidak rela.
        Peti itu semakin menjauh dari pandanganku. Ketika aku hendak mengejarnya, beberapa orang menahanku untuk tidak menyentuh sedikitpun peti mati Jae Hyun seakan tidak merelakannya. Aku tau Jae Hyun tidak tersenyum saat melihatku menangis seperti ini. Ya, aku tau itu. Aku bisa merasakannya. Maka dengan sekuat tenagaku, aku mencoba untuk merelakan keperginnya. Ya, aku merelakannya.

        ‘Takkan pernah kulupakan dirimu. Takkan sanggup kulupakan semua.’ Gumamku dalam hati.

        Sekelebat, kabut putih seakan membawamu pergi dari sini. Dimana orang-orang kini membenciku. Membawaku.. Ke sebuah kejadian yang kini membuatku dibenci oleh banyak orang. Aku mengingatnya. Peristiwa yang seharusnya tak pernah terjadi. Peristiwa yang tak membuatku seperti ini.

Flashback

        Malam ini turun hujan deras. Jae Hyun datang ke rumahku pukul tujuh malam. Sekujur tubuhnya basah karena terguyur air hujan diluar. Ia tersenyum manis sambil mengusap-usap kepalanya untuk sedikit mengusir air yang mulai menetes dari ujung rambutnya ke lantai. Menyapaku yang membukakan pintu untuknya dengan senyumannya itu. Dengan kantung plastik berukuran lumayan besar, Jae Hyun melangkah masuk ke dalam, tepatnya ke ruang tengah, mengikutiku dari belakang.
        Aku masuk ke dalam kamar setelah mempersilahkannya duduk, untuk mengambil handuk. Namun setelah aku kembali ke ruang tengah, senyumku yang tadinya merekah hebat, kini tersapu oleh pandangan yang tak mengenakkan untuk kulihat. Jae Hyun sedang duduk berdua di sofa bersama Shin Bi Eonni. Ia nampak antusias membasuh sisa-sisa air hujan diwajah Jae Hyun penuh kelembutan dengan handuk yang lebih dulu ia ambil. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku.
        “Shin Ji-ya, kemarilah..” Ujarnya yang sedikit membuatku terkejut, membuatku segera menyembunyikan handuk yang kubawa. Aku mencoba untuk tersenyum dihadapan mereka sambil menghampirinya dan duduk disofa yang berbeda.
        Shin Bi adalah Eonni ku. Satu-satunya saudara kandung yang masih kumiliki hingga sekarang. Orang tuaku sudah meninggal sejak empat tahun yang lalu akibat kecelakaan. Kini aku hanya tinggal berdua dengan Shin Bi. Tapi entah mengapa kehidupanku menjadi lebih baik ketika hadirnya sosok Jae Hyun yang kian hari kian menghiasi hari-hariku. Tidak begitu yang kumaksud. Sebenarnya Jae Hyun adalah calon kakak iparku sejak Shin Bi dan Jae Hyun memulai untuk merangkai kisah cinta mereka tiga tahun yang lalu. Lalu kemudian Jae Hyun bertunangan dengan Shin Bi setahun setelahnya, dan mengajak Shin Bi untuk menikah.
        Demi apapun, aku yang lebih dulu bertemu dan kenal dengan Jae Hyun. Aku yang lebih dulu menyebar benih-benih cinta. Seharusnya aku juga yang menuai hasil atas benih-benih yang kutanam itu. Tapi Jae Hyun justru lebih tertarik dengan Shin Bi setelah aku mengenalkannya padanya. Ada rasa sesal sudah mengenalkan mereka satu sama lain. Walaupun begitu, aku masih bisa dekat dengannya semenjak mereka berpacaran. Dengan begitu, aku bisa mencuri-curi waktu untuk bisa bersama-sama dengan Jae Hyun, ketika Shin Bi tidak bersama kami. Tapi tetap saja, api cemburu membutakan mata hatiku. Membuat aku melakukan yang seharusnya tidak kulakukan.

*

        Dua hari berlalu begitu cepat. Dan aku bangun lebih awal dari biasanya. Kulirik kalender yang bertengger didinding kamar sebelah kanan, tepat disamping bingkai foto aku bersama Shin Bi dan Jae Hyun tengah tertawa bahagia, bersama. Di angka 31 terdapat sebuah lingkaran berwarna merah lekat yang aku buat satu minggu yang lalu. Hari ini tanggal 31 Agustus, yang jatuh dihari Rabu. Tanggal dimana Shin Bi dan Jae Hyun akan melangsungkan pernikahan. Mengikrarkan janji satu sama lain didepan pendeta, dehadapan Tuhan. Kulirik sebentar bingkai foto itu. Dari ketiga senyum itu akan menghilang satu senyuman. Yang hanya menjadi saksi atas perjalanan cinta mereka.
        Kubuka selimut yang menutupi sebagian tubuhku kemudian aku beranjak dari tempat tidur. Setelah itu aku berjalan menuju kamar mandi. Dingin. Air yang sangat sejuk dipagi hari. Membuat mataku yang terasa masih mengantuk kini menjadi segar dan tak dapat menutup mata kembali. Setelah mandi, aku membuka lemari dan mengambil sebuah dress berwarna putih dengan banyak hiasan yang membuat dress nampak terlihat mewah namun masih terkesan sederhana. Dress yang panjangnya hanya selutut terus kupandangi sambil sedikit berkhayal.
        “Seandainya nanti aku yang menjadi pengantin wanitanya, hari ini aku pasti akan sangat bahagia.” Gumamku sambil tersenyum centil. Namun senyum itu seketika lenyap saat kembali memandangi dress itu yang kemudian segera kupakai lalu kugoreskan pada wajahku beberapa alat rias yang terpajang rapih dimeja rias kamarku. Aku beranjak kemudian memakai wedges seusai memakai accessories.

        Aku mengunjungi gereja, menyusul Shin Bi yang sudah pergi terlebih dahulu, tadi pagi. Sesampainya di gereja, aku menyambangi ruang rias pengantin wanita, yang adalah kakakku sendiri. Lalu aku beranjak ke ruang rias laki-laki, yaitu Jae Hyun, yang letaknya bersebrangan dengan ruang rias Shin Bi. Jae Hyun terlihat sangat tampan. Membuatku makin mengagumi dan mencintainya, diam-diam. Aku melangkah masuk ke dalam. Didalam ruangan hanya ada Jae Hyun dan aku. Selebihnya tidak ada siapa-siapa lagi selain kami.
        “Jae Hyun-ah..” Aku sudah terbiasa memanggilnya dengan dua kata itu. Padahal umurnya lebih tua satu tahun setengah dariku. Tapi Jae Hyun sama sekali tidak keberatan dengan hal itu.
        Ia menoleh sambil merekahkan senyumnya ke arahku. Kedua tangannya sibuk membetulkan pita yang menghiasi dada yang hampir ke lehernya. “Shin Ji-ya.. Kau sangat cantik. Bahkan terlihat dewasa dengan memakai dress itu.”
        “Geuraeyo? Aaa, kau ini bisa saja. Kau juga terlihat sangat tampan memakai jas itu.” Aku duduk di sebuah kursi yang bisa menampung tiga orang sambil mengapit erat kulit permukaan kursinya. “Seandainya aku yang menjadi pengantin wanitanya. Aku pasti akan sangat bahagia.”
        “Jinjja?” Jae Hyun melangkahkan kakinya, duduk dikursi yang ada dihadapanku, “Lantas, Shin Bi mu bagaimana?”
        “Memangnya kau mau menikah denganku jika Shin Bi bukan kekasihmu? Tentu saja tidak.”
        Jae Hyun tidak menjawab. Ia memandangku seakan memberiku jawaban atas pertanyaanku, yang pada akhirnya kujawab sendiri. Seketika suasana menjadi hening. Diam. Hanya ada suara pendingin ruangan disalah satu dinding. Itupun suaranya tidak terlalu jelas.
        “Saranghaeyo..” Ujarku memecah keheningan sambil menatap Jae Hyun dengan lekat. Bisa kurasakan mataku mulai berbinar dan terdapat sedikit air mata yang mungkin akan menetes.
        “Heh?” Jae Hyun menoleh. Membalas tatapanku dengan bingung.
        “Aku mencintaimu, Ahn Jae Hyun.” Ujarku sekali lagi, dengan menekankan tiga kata, nama panjang Jae Hyun.
        “Mwo? Kau ini bicara apa, eoh? Aku ini calon suami Shin Bi, calon kakak iparmu..”
        “Lalu kenapa? Salah aku mencintaimu? Mencintai seorang namja yang sudah memiliki seorang kekasih?” Aku bangkit dari kursi yang ku duduki. Sambil mengalihkan pandangan, aku mengatakan, “Aku mencintaimu dari dulu. Sejak kau dan Shin Bi belum saling mengenal. Menyesal karena aku sudah mengenalkanmu pada Shin Bi. Menyesal karena cintaku kini justru termiliki oleh orang lain. Dimiliki oleh kakak kandungku sendiri.”
        Jae Hyun ikut bangkit dari kursinya, sambil memandangku. Bingung. Kutatap Jae Hyun dengan air mataku yang kini mulai menetes. Setetes demi tetes.
        “Jae Hyun-ah.. Tak bisakah kau mengerti akan semua sikap dan perilaku ku selama ini terhadap dirimu? Tidakkah kau menyadarinya sedikit saja?”
        “Katakan padaku kalau kau tengah berbohong padaku. Iya kan?” kata-katanya itu sungguh tegas. Mengisyaratkan akan ketidak percayaan atas pengakuanku padanya baru saja.
        “Anio! Aku tidak bercanda. Aku  ingin memilikimu Jae Hyun..” Selangkah kakiku hendak mendekatinya, “Katakan padaku kalau kau juga ingin memilikiku, Jae Hyun. Katakan kau mencintaiku, bukan mencintai Shin Bi!” Kutinggikan nada bicaraku padanya, yang semakin mendekat berada dihadapanku. Namun ia terus melangkah mundur, seakan menjauh dariku. “Aku tidak bisa hidup jika tak bersamamu. Hanya kau yang aku cintai Jae Hyun. Karena kau yang sudah membuat hidupku berubah menjadi lebih baik. Setelah kedua orang tuaku meninggal..”
        “Ani Shin Ji! Aku akan menikah dengan kakakmu. Aku mencintainya. Bahkan aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri. Mianhae, aku tidak bisa Shin Ji..”
        Aku tersenyum kecut, mengalihkan pandangan darinya ke sebuah keranjang buah yang berada diatas meja. Dalam keranjang buah itu terdapat pisau yang nampak tajam. Aku meraih pisau itu kemudian menghantamkan ujung pisau ke salah satu buah apel. Kutatap Jae Hyun seakan harimau yang ingin segera menghantam sebuah kelinci yang berusaha untuk kabur namun kakinya tertahan.
        Aku mencabut pisau dari apel itu kemudian menggenggamnya dengan erat. Langkahku semakin mendekat dengan Jae Hyun yang berdiri tersandar didinding. “Kau... Kau mau apa?”
        Salah satu tanganku merangkul pundaknya. Kedua mata dihadapanku menatapku dengan tatapan takut.
        “Mwo? Shin Ji-ya! Jangan berlaku konyol!”
        “Kau tidak mau aku melakukan apapun padamu? Maka dari itu, cintailah aku Jae Hyun! Cintailah aku seperti kau mencintai Shin Bi!” Teriakku tepat di depan wajah Jae Hyun yang hanya berjarak beberapa centi meter dari wajahku.
        “Mianhaeyo.. Tidak bisa.. Aku sudah terlalu dalam mencintai Shin Bi. Cinta pertamaku. Aku  benar-benar tidak bisa.”
        “Jika kau tidak bisa mencintaiku.. Maka tidak ada yang boleh memilikimu selain aku.”
        “Shin Ji-ya.. A..” Mata Jae Hyun membelalak. Mulutnya sedikit menganga. Aku bisa merasakan debar jantungnya yang begitu kencang dan cepat, setelah kutancapkan pisau yang sedari tadi berada di genggamanku.
        Tiba-tiba, ada sesuatu yang seakan menyadarkanku. Aku terpaku pada darah yang mengucur dari perut Jae Hyun dengan pisau yang masih tertancap. Perlahan darah itu mulai menyebar ke tanganku. Buru-buru aku melepaskan pisau itu dari perut Jae Hyun. Tanganku yang mulai gemetaran menjatuhkan pisau itu dengan sengaja sambil terus memperhatikannya. Sementara Jae Hyun terkapar setelah berusaha menahan rasa sakit diperutnya yang akhirnya tak tertahankan.
        Aku berjalan menjauh dari Jae Hyun, namun Shin Bi menangkap basah diriku yang telah membunuh calon suaminya. Kedua kakiku menjadi lemas dan ikut gemetar. Bahkan dadaku terasa sangat sesak saat menyaksikan Jae Hyun meninggal tepat dihadapanku, yang sekarang tengah didekap oleh Shin Bi dengan tangisnya yang mulai pecah. Orang-orang berdatangan, masuk ke dalam ruangan setelah mendengar teriakkan Shin Bi yang histeris. Aku hanya bisa diam terpaku ditempatku, yang kemudian segera di amankan oleh beberapa kerabat Jae Hyun. Mereka segera membawaku ke kantor polisi tanpa ada yang berani mencegahku, sekalipun Shin Bi. Bisa kulihat ia hanya menatapku dari tempatnya. Menatapku dengan tatapan yang seakan tidak rela untuk melihatku lagi.


        Adik siapa yang tega membunuh calon suami kakaknya sendiri, membunuh calon kakak iparnya, membunuh namja yang sangat dia cintai. Bahkan cinta telah membutakan segalanya. Seakan cinta tidak lagi membutuhkan sebuah logika, atas apa yang telah kulakukan ini.
        Aku tau Shin Bi sangatlah terpukul dengan kejadian ini. Pasti ia dan keluarga Jae Hyun sudah membenciku. Atas pembunuhan yang kulakukan terhadap Jae Hyun. Namja yang memiliki paras tampan juga hati yang baik dan lembut. Selembut kapas yang seakan belum ternodai.
        Setelah di proses atas perkara pembunuhan, aku akan dipenjara selama puluhan tahun, mungkin seumur hidupku. Tapi aku memiliki sebuah permintaan pada pihak kepolisian untuk tetap bisa menyaksikan upacara pemakaman Jae Hyun. Dan mereka mengizinkannya. Setidaknya aku bisa melihat Jae Hyun yang tak lagi merasa kesakitan atas luka yang sudah kutorehkan disalah satu anggota tubuhnya, hingga merenggut nyawanya.

Flashback end

        Upacara pemakaman Jae Hyun telah kulalui. Kini beberapa petugas dari kepolisian kembali membawaku untuk memasukkanku ke penjara. Bahkan Shin Bi pun tak membela sedikitpun atas adik kandungnya ini. Aku tau ia pasti sangat kecewa berat padaku. Ya, aku tau aku salah. Sangat bersalah. Dan sekarang aku pun menyesalinya, juga aku akan bertanggung jawab atas kesalahan, bahkan dosa yang telah ku perbuat.

*

        Aku berusaha untuk menjalani hidupku yang sudah kacau ini dengan tenang. Bahkan aku pun sudah berusaha keras untuk melupakan Jae Hyun. Namun seakan tak terima dengan apa yang kuperbuat, Jae Hyun selalu datang menghampiriku lewat mimpi. Bahkan beberapa kali sempat menampakkan dirinya diwaktu-waktu tertentu. Jae Hyun seperti ingin membalas dendam padaku. Tidak hanya Jae Hyun, melainkan Shin Bi pun melakukan hal yang sama. Mereka kini selalui menghantui juga selalu mengusik kehidupanku. Semenjak kematian mereka, hingga hari ini.
        Satu bulan yang lalu, aku dikabarkan oleh seseorang kalau Shin Bi meninggal karena bunuh diri. Ia tidak bisa menerima kenyataan kalau calon suaminya meninggal ditangan adik kandungnya sendiri. Bahkan sedikitpun rasa kasihan tak kunjung kudapatkan darinya. Aku, yang jelas-jelas adalah adik kandungnya sendiri seakan tak pernah dianggapnya lagi sebagai adik. Ia hanya memandangku sebagai seorang pembunuh. Aku tau bagaimana perasaan Shin Bi. Aku khilaf atas apa yang kulakukan ini. Benar-benar khilaf dan menyesalinya.
        Alih-alih ingin bertanggung jawab, mereka justru membuat hidupku menjadi tidak tenang. Dengan selalu dihantui oleh mereka, aku selalu ceroboh melakukan sebuah pekerjaan. Bahkan aku sering sekali memecahkan piring karena tidak fokus dengan pekerjaanku akibat gangguan-gangguan dari mereka.
Shin Jin POV end

Author POV
        Satu bulan berlalu, Shin Ji masih bisa untuk bertahan dari gangguan-gangguan dua orang yang telah meninggal itu. Namun seiring berjalannya waktu, Shin Ji semakin tidak tahan.

        Suatu malam, Shin Ji tidak bisa tidur. Ia bergerak kesana kemari, ke kanan dan ke kiri. Namun perasaannya sangat gundah. Akhirnya ia bangun karena dadanya terasa sesak. Rasanya ingin minum, namun didalam sel tahanannya tidak ada minuman. Bahkan tidak ada apa-apa. Hanya sebuah tikar tipis dan bantal yang sudah usang termakan oleh waktu. Shin Ji sangat haus, hingga ia ingin memanggil seorang petugas untuk mengambilkannya minum. Tapi Shin Ji menepis keinginannya itu. Matanya seketika terbelalak melihat dua orang yang sangat familiar dimatanya menghampiri Shin Ji dengan tatapan yang tajam. Seperti pisau yang tengah dibawa oleh seseorang diantaranya. Mereka berjalan mendekati Shin Ji, yang berusaha mundur sambil memandang kedua orang itu dengan takut. Napasnya makin ternegah-engah.
        Sret.. Sret..
        Ia terus mengesot mundur, yang membuat celananya menjadi kotor. Shin Ji tak mempedulikannya. Ia hanya bisa terdiam. Ingin menyuruh kedua orang itu pergi namun mulutnya seakan bisu.
        “Ja-jangan.. Jangan..” Gumam Shin Ji pelan. Ia terus mundur, namun dinding besar nan tinggi menghentikannya. Kedua tangannya meraba-raba dinging, seakan ingin mendorong dinding itu dengan sisa tenaga yang masih ia miliki. “Ma-mau.. Mau apa kalian?” Tanya Shin Ji terbata-bata.
        “Aku.. Hanya ingin kau mati, Lee Shin Ji.” Ujar seorang namja dengan berbalutkan jas pernikahan, sambil menggenggam erat sebilah pisau.
        “Kau harus membayar atas apa yang sudah kau lakukan. Kau harus membayar semuanya!” Ujar seorang yeoja disamping namja itu, yang meninggikan suaranya. Ia memakai sebuah gaun pengantin berwarna putih namun sudah ternodai dengan darah dibeberapa bagian, seperti jas yang tengah dikenakan oleh namja disebelahnya.
        “Ja-jangan.. Jangan.. Pergi!” Shin Ji berusaha berteriak. Kedua orang yang ada dihadapannya itu saling bertatapan. Mereka terus mendekati Shin Ji. Kemudian..


        “Aaaaaaa………………” Shin Ji berteriak sekuat tenaga. Ia terbangun dari tidurnya dengan napas yang tak beraturan.
        “Hey, bisakah kau diam, eoh? Berisik sekali!” Ujar seorang narapidana lain yang sedang tertidur tak jauh dari Shin Ji. Shin Ji menatapnya sebentar kemudian memeriksa perutnya.
        ‘Tak ada darah?’ Batin Shin Ji. Ia melongok ke samping kanan dan kirinya. Semuanya dalam keadaan baik-baik saja. Shin Ji berusaha mengingat mimpinya semalam. Dua orang yang sangat ia kenal mendatanginya dan mencoba untuk membunuhnya. Membunuh dengan cara yang sama, seperti ia membunuh Jae Hyun. Ia menghela napas panjang sambil mengusap wajah yang mulai basah karena keringat, dengan kedua tangannya.

Pagi harinya..
        Shin Ji memohon kepada seorang petugas untuk meminta mengantarkannya ke makam kedua orang terdekatnya. Sudah berkali-kali Shin Ji berusaha memohon. Namun sepertinya petugas itu ragu. Bukan, ia takut kalau Shin Ji akan kabur.
        “Aku janji tidak akan kabur. Aku hanya ingin meminta maaf pada mereka. Aku hanya ingin mengatakan sesuatu padanya.”
        “Mwo? Bagaimana bisa kau meminta maaf pada orang yang sudah mati?” Ujar petugas itu, meremehkan Shin Ji.
        “Mereka memang sudah mati. Tapi aku yakin mereka pasti masih bisa mendengarnya, di surga. Kumohon..” Pinta Shin Ji sekali lagi.
        “Hhh, baiklah.. Aku dan beberapa petugas kepolisian yang lain akan mengantarkanmu. Janji tidak akan kabur, dan kau hanya memiliki waktu satu jam untuk mengunjungi makam kedua kakakmu itu.”
        Shin Ji merekahkan senyumnya sambil mengangguk mengiyakan persyaratan tidak langsung dari petugas itu.

Siangnya..
        Dengan ditemani oleh tiga orang petugas kepolisian, Shin Ji menepati janjinya untuk datang ke makam Shin Bi dan Jae Hyun yang bersampingan. Ia tersenyum tipis sambil memandang keudia nisan itu.
        “Aku benar-benar minta maaf pada kalian. Aku tau, aku sangat berdosa telah merenggut nyawa Jae Hyun. Dan secara tidak langsung, aku juga telah membuatmu meninggal Shin Bi. Eonni, aku sangat mencintaimu. Saat itu aku benar-benar khilaf. Karena cinta yang egois telah merusak sebuah cinta yang tulus. Jeongmal mianhaeyo.. Tolong.. Jangan ganggu aku lagi. Aku ingin hidup dengan tenang. Aku akan bertanggung jawab atas apa yang sudah kuperbuat. Aku janji aku akan bertanggung jawab. Jadi, kumohon.. Beristirahatlah dengan tenang di Surga. Aku mencintai kalian.. Sangat mencintai kalian.” Shin Ji membungkuk memberikan salam perpisahan pada kedua makam itu sembari menaruh dua buah buket bunga di masing-masing makamnya. Ia tersnyum kecil lalu membalikkan tubuhnya menghadap ke tiga petugas kepolisian.

        Tiga petugas kepolisian itu memborgol tangan Shin Ji dan membawanya menuju mobil. Namun belum sampai mobil, langkahnya terhenti ketika sebuah cahaya menyilaukan kedua matanya. Dua orang yang ia sayangi tengah tersenyum ke arahnya sambil bergandengan tangan. Shin Ji tersenyum ke arah mereka. Kemudian mereka saling bertukar tatap lalu menghilang dengan sekejap. Shin Ji pun melangkahkan kakinya kembali menuju mobil, untuk tetap menjalani masa tahanannya selama bertahun-tahun, mempertanggung jawabkan perbuatannya. Setidaknya Shin Ji lega karena sudah mengungkapkan isi hatinya yang selama ini mengganjal pada Jae Hyun dan Shin Bi, meski lewat sebuah makam. Namun kini perasaan gundah yang mengganjal dihatinya pun kini sirna setelah melihat kedua senyuman manis yang Jae Hyun dan Shin Bi utarakan pada Shin Ji.


The end………………….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

My Strength

My Strength