Hari
ini, ditemani oleh Hyuseong, aku kembali menjenguk Jeongmin. Sudah lima hari ia
terus berbaring di tempat tidur rumah sakit. Semakin aku melihatnya, semakin
aku tidak tega dengan keadaannya yang hingga saat ini belum ada kemajuan yang
signifikan. Dan rasa penyesalan pun semakin berkembang di dalam hatiku.
“Jeongmin-ah..
Sampai kapan kau mau seperti ini terus? Tidakkah kau merindukanku?” Kataku
sembari menggenggam erat salah satu tangannya. Dadaku rasanya sesak karena
menahan perasaanku sendiri. Juga menahan air mata ini agar tidak kembali jatuh
di depan Jeongmin.
Semalam
aku memimpikannya. Ia bilang padaku untuk tidak lagi menangis di depannya. Dan
aku harus menjadi yeoja yang lebih kuat. Yang membuat air mataku kembali jatuh,
saat aku mengingat kata-kata yang diucapkan oleh Jeongmin dalam mimpiku, ‘Bertahanlah meskipun aku tidak lagi
disisimu.’ Apa maksud dari kata-kata itu? Tidakkah ia ingin tetap bersamku?
Akankah ia pergi meningalkanku? Tuhan.. Kuatkan aku jika memang terjadi sesuatu
pada Jeongmin.
Aku
terkejut saat mendapati tangan Jeongmin bergerak. Apakah ini suatu kemajuan?
Aku segera memberi isyarat pada Hyunseong. Ia pun mengerti apa yang telah ku
isyaratkan. Hyunseong mengangguk lalu keluar untuk memanggil dokter.
“Eomma..
Appa..” Desisnya.
Rasa
keterkejutanku semakin meningkat setelah Jeongmin menggumamkan sebutan eomma
dan appa dari bibirnya. Tuhan, terimakasih telah mengembalikan Jeongmin-ku.
“Jeongmin-ah..
Ini aku, Hye Sang.. Jeongmin-ah..”
Perlahan
Jeongmin mulai membuka kedua matanya. Aku segera menghapus air mataku dan
mengembangkan senyum.
“Jeongmin-ah..
Ini aku Hye Sang.. Syukurlah kau sudah sadar.”
Kedua
matanya meyipit, terus memperhatikanku, “Kau siapa?”
Pertanyaan
Jeongmin bagai tamparan kencang yang didaratkan di pipiku. Senyumku menghilang
bak disapu ombak besar yang menerjang. Apa-apaan ini? Apa ini sebuah lelucon
untukku? Apa lagi ini?
“Dimana
eomma dan appa ku? Dan, apa aku mengenalmu? Kenapa kau menangis? Apa kau
baik-baik saja?” Segelintir pertanyaan yang bahkan tak dapat aku jawab.
Ya,
aku kembali menangis. Mianhae, Jeongmin. Aku sudah ingkar janji untuk tidak
menangis lagi di depanmu. Tapi bagaimana aku tidak menangis, jika keadaannya
seperti ini!? Aku memang menunggunya untuk kembali sadar. Jeongmin memang sudah
sadar. Tapi, kenapa ia tidak ingat denganku? Apa ia mengalami amnesia? Tuhan,
apa kau kembali menguji ketegaranku? Menguji kesabaranku?
Hye Sang POV end
Hyunseong POV
Aku,
dokter dan seorang suster masuk ke dalam ruang rawat Jeongmin. Mereka memeriksa
kembali kondisi Jeongmin. Sementara aku merangkul Hye Sang dan membawanya
keluar. Saat di ambang pintu, orang tua Jeongmin datang. Mereka menyapa kami
dengan tersenyum kemudian masuk ke dalam.
“Mereka
orang tua Jeongmin.” Gumamku pelan.
Hye
Sang tak bergeming. Kulihat air matanya sudah tidak mengalir lagi. Baru kali
ini aku melihat yeoja setegar Hye Sang. Walaupun air mata yang hangat itu tetap
mengalir dari pelupuk matanya yang sipit, tapi yeoja mungil ini masih tetap
bertahan meski ia tau akan hidup sebatang kara. Aku takluk dengan perjuangannya
melawan rasa sakit yang datang bertubi-tubi itu.
“Tunggu
disini sebentar.. Aku ingin masuk lagi. Kumohon jangan kemana-mana.” Tuturku
padanya. Ia hanya mengangguk. Aku meninggalkannya sebentar di luar ruang rawat
Jeongmin, sementara aku kembali masuk ke dalam. Diam-diam aku mendengarkan
percakapan antara dokter dengan kedua orang tua Jeongmin. Aku hanya menunduk
ketika dokter itu mengatakan tentang kondisi Jeongmin yang sebenarnya. Aku
tersenyum getir, kemudian meninggalkan ruangan.
Aku
membawa Hye Sang menjauh dari ruang rawat Jeongmin dan mendudukkannya di kursi
lobi rumah sakit. Kubiarkan ia berada jauh dari kamar rawat Jeongmin agar tidak
terlalu mengkhawatirkan keadaannya. Aku ikut duduk di sebelahnya. Bahkan aku
sendiri bingung harus bagaimana di depannya. Berusaha tegar? Sudah dari jauh
hari aku melakukannya, karena aku tau Hye Sang sangat butuh diriku dengan
keadaan yang seperti ini. meskipun sebenarnya hatiku telah larut dalam
kesedihan. Bukan karena Hye Sang yang lebih memilih Jeongmin. Melainkan
menangis karena kini sahabat dan juga pacar sahabatku dirundung kesedihan yang
amat mendalam. Kejadian yang tak pernah terduga terjadi begitu saja. Hye Sang
yang mengetahui tentang taruhan itu, Jeongmin yang sekarang masih terbaring di
rumah sakit karena berusaha menyelamatkan Hye Sang, kepergian orang tua Hye
Sang untuk selama-lamanya, dan kini Jeongmin mengalami amnesia. Aku tau Hye
Sang pasti sangat terpukul dengan semua ini. Jika ide taruhan itu tidak
terceletuk dari bibirku, semua ini pasti tidak akan terjadi. Ini semua memang
salahku. Dan karenaku Jeongmin juga Hye Sang jadi menderita.
“Aku
minta maaf..” Desisku memecah keheningan. “Kau tidak perlu merasa bersalah..
Karena yang paling bersalah disini adalah aku.”
“Wae?”
Gumam Hye Sang pelan.
“Boleh
aku memelukmu?” Entah kenapa kata-kata itu langsung terucap begitu saja dari
bibirku.
Tanpa
menunggu jawaban, aku langsung memeluk erat tubuh Hye Sang. Tidak peduli ia akan
marah atau tidak padaku.
“Aku
menyayangi kalian berdua. Aku menyayangi Jeongmin. Juga menyayangimu Hye Sang.
Aku tidak apa-apa kau tidak bersamaku. Aku baik-baik saja selama kau berada
dalam dekapan hangat Jeongmin. Tapi kali ini, izinkan aku untuk bersamamu. Kau
dapat membagi semua rasa sakit, sedih, kecewa, amarah.. semuanya, padaku.
Tolong jangan pendam sendiri.. Aku ada disini Hye Sang.. Ada disini untukmu.”
Ujarku dengan suara yang parau. Dadaku terasa sesak saat mengucapkan seluruh
kalimat itu.
“Mianhae..
Aku hanya dapat menyusahkanmu. Aku berhutang banyak padamu ya!?” Ujarnya dengan
suara yang lembut. Perlahan kedua tangannya mendekap lenganku dengan erat. Bisa
kurasakan air mata yang hangat itu jatuh lagi.
“Aniya..
Nan gwaenchana! Menangislah sepuasnya Hye Sang.. Menangislah.. Tapi janji untuk
tetap tegar setelah ini. Dan jangan menangis di depan Jeongmin. Aku mohon..”
Hye
Sang mengangguk pelan.
Hyunseong POV end
*
Hye Sang POV
Seminggu
berlalu dengan cepat dan begitu sangat terasa. Jeongmin sudah boleh pulang dari
rumah sakit, dan sudah menjalani seluruh aktviitasnya seperti biasa. Seperti
sekolah. Ya, Jeongmin sudah diizinkan sekolah karena keadaannya yang kian
membaik. Meskipun ia masih kehilangan seluruh ingatannya. Tapi aku bersyukur,
setidaknya dengan adanya kejadian ini, Jeongmin bisa dipertemukan kembali
dengan eomma kandungnya yang selama ini berpisah cukup lama. Dan mengeratkan
tali kekeluargaan yang sempat terputus. Yang awalnya Jeongmin sangat membenci
eomma tirinya juga appa nya, kini ia menaruh rasa sayangnya sedikit demi
sedikit. Dan appa nya tak lagi melarang Jeongmin untuk bertemu dengan eomma
kandungnya. Ya, aku yakin ada hikmah di balik semua kejadian ini.
Tapi..
rasanya hatiku masih tetap terasa sakit. Ada ruang yang kini kembali kosong,
kembali terasa hampa. Apalagi saat tak sengaja berpapasan dengannya. Atau
sekedar melihatnya dari kejauhan. Dan bahkan hingga memperhatikannya secara
diam-diam. Disitulah rasa sakit itu kian merasuk ke dalam jiwaku. Hyunseong
sering kali memperlihatkan senyumnya di hadapanku. Senyum yang seakan
menyuruhku untuk selalu tetap bersabar. Bahkan tanpa disuruh pun aku sudah
melakukannya. Bagiku tidak masalah seberapa besar kesabaran yang sudah
kulakukan selama ini. Tapi yang tidak bisa kulakukan adalah menahan rasa sakit
yang semakin mendalam. Aku bingung harus bagaimana lagi untuk menyembuhkan rasa
sakit ini. Dan pada akhirnya aku menyerahkan seluruhnya pada Tuhan.
Aku
berjalan mengitari taman. Dari kejauhan, pandanganku menyapu ke seluruh sisi
taman. Dan seketika langkahku berhenti. Pandanganku terpaku pada dua orang
namja yang tengah berbincang di bawah pohon Cherry Blossom yang tengah
bermekaran. Terlihat kedua namja itu tengah bercanda tawa dengan riang gembira.
Salah satu dari namja itu merekahkan senyum manisnya.
‘Aku akan selalu merindukan senyuman itu
Jeongmin.. Aku akan selalu merindukanmu..’
Aku
tersenyum getir seraya kembali melangkahkan kakiku, menjauh dari taman.
Sorenya,
aku kedatangan tamu saat sedang membereskan seluruh barang-barangku. Bel rumah berbunyi
meraung-raung memenuhi ruangan di setiap sudut rumahku. Menyuruhku untuk cepat
membukakan pintu.
Seorang
namja tengah berdiri di depan pintu sembari menyunggingkan senyumnya.
“Hyunseong.. Ayo masuk.” Hyunseong berjalan masuk ke dalam. Kubiarkan pintu
rumah terbuka lebar, agar udara segar bisa masuk.
“Duduklah..
Aku akan mengambil minum untukmu.” Ujarku yang langsung melesat pergi ke dapur,
membuatkan minum untuknya.
Tak
lama, aku kembali ke ruang tamu dengan segelas minuman segar yang kubawa
menggunakan sebuah nampan kecil. Aku menaruhnya di meja kemudian duduk di
sebelah Hyunseong.
“Aku
senang kau datang kesini. Ada apa?”
“Bagaimana
keadaanmu?”
Aku
mengernyitkan dahi, agak bingung dengan pertanyaannya. Tapi aku mencoba untuk
menganalisanya. Mungkin yang ia maksud adalah menanyakan bagaimana keadaan
hatiku saat ini.
“Mungkin
setelah pindah aku akan merasa lebih baik.”
“Mwo?
Pindah? Kenapa kau memutuskan untuk pindah?” Hyunseong terbelalak.
Aku
tersenyum getir, “Aku butuh waktu untuk sendiri. Aku hanya tidak ingin
memperburuk keadaannya. Jika sewaktu-waktu Jeongmin melihatku lalu mencoba
untuk mengingat peristiwa yang sudah kami alami bersama. Dan aku ingin kalian
hidup tenang tanpaku. Terlebih, aku juga ingin Jeongmin bahagia tanpa
kehadiranku di kehidupannya.”
“Kau
hanya akan pindah rumah saja kan!? Kau masih tetap bersekolah di sekolah kita
kan!?”
Aku
menggeleng pelan, “Aniya.. Untuk apa aku pindah rumah tapi masih bersekolah di
sekolah itu!? Itu sama saja bohong.. Aku akan pindah ke Paris. Disana ada
ahjumma dan ahjussi. Aku akan tinggal bersama mereka.”
Kukembangkan
senyumku di hadapannya, “Aku harap kau bisa mengerti dengan perasaanku. Entah
kenapa aku merasa kasihan dengan hatiku sendiri. Terlalu banyak luka mendalam
yang masih terus mengusikku. Yang membuatku menjadi sangat tidak nyaman untuk
melanjutkan hidupku sendiri. Bahkan melihatnya pun membuatku sakit. Setidaknya
aku bisa menyegarkan pikiranku jika berada jauh darinya.”
Kugenggam
kedua tangannya dengan erat seraya menatapnya dengan lekat, “Tolong jaga
Jeongmin untukku, Hyunseong.. Aku mempercayakan hal itu padamu. Aku mohon..”
Kudengar
Hyunseong menghela napas panjang, kemudian ia membalas tatapanku.
“Aku
tidak bisa mencegahmu agar tidak pergi ya? Jika memang itu pilihan terbaik
untukmu, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Aku berjanji akan selalu
menjaganya untukmu.”
Ia
mendekatkan tubuhnya lalu memelukku dengan erat.
“Kita
masih bisa menjadi teman kan!?” Ujarnya
“Tentu
saja. Kau adalah sahabat terbaikku.”
“Bagaimana
aku bisa menjadi sahabat terbaikmu jika aku melakukan hal bodoh itu dan
membuatmu menjadi seperti ini! Aigoo, aku benar-benar menyesal atas kejadian
itu. Seandainya...”
Aku
melepas pelukkannya, “Menyesal pun sudah tidak ada artinya lagi untuk saat
ini.” Aku meyela perkataan Hyunseong, “Yang sekarang harus kau lakukan adalah
menebus semua rasa penyesalanmu itu. Ubahlah keadaan saat ini mejadi lebih baik
lagi. Dan berusahalah untuk melupakan semua kejadian buruk yang pernah
terjadi.”
Pernlahan
Hyunseong mengembangkan senyumnya.
“Apa
kau butuh bantuan untuk mengemas barang-barangmu?”
“Tidak
usah.. Lagi pula semuanya sudah kukemas dengan rapih.”
“Kalau
aku yang mengemas jadi tidak rapih ya!?”
Kami
tertawa bersama.
‘Terimakasih Hyunseong, atas semua yang
pernah kau lakukan untukku saat ini. Terimakasih banyak.’
*
Empat
tahun lamanya aku tinggal di Paris bersama ahjumma dan ahjussi yang sangat baik
sekali padaku. Mereka membiayai pendidikanku hingga aku bisa menamatkan
kuliahku. Karena tak ingin mengecewakan mereka, aku terus belajar dengan giat.
Hingga aku menjadi mahasiswi berprestasi di universitasku. Aku bisa membuat
mereka bangga dan tak menyisakan kesia-siaan karena telah membiayai pendidikan
dan menanggung seluruh biaya kehidupanku. Tak hanya membanggakan mereka, aku
juga bisa membuat bangga kedua orang tuaku di surga. Aku sangat bahagia. Eomma,
appa, aku akan mewujudkan cita-citaku menjadi seorang desainer terkemuka.
‘Kalian tentu bahagia kan!?’
Kemarin
aku kembali ke Korea. Berlama-lama di negara orang membuatku tak cukup nyaman.
Meskipun tinggal bersama ahjumma dan ahussi. Tapi tetap tak senyaman tinggal di
negara tempatku dilahirkan. Semuanya berbeda. Dan aku sangat merindukan negara
Korea, merindukan kota Seoul yang sudah kutinggalkan selama lima tahun lamanya
demi pendidikanku.
Aku
keluar dari apartemen yang baru kutinggali selama satu malam. Langkahku terus
melaju tak tentu arah. Menyusuri jalan demi jalan kota Seoul di pagi hari, pada
hari kedua di musim semi. Namun langkahku berhenti di jalan Yunjunro, yang
terletak di belakang gedung Majelis Nasional. Sinar matahari perlahan mulai
muncul dari peraduan dan udara menjadi sedikit lebih hangat. Pepohonan dengan
dedaunan yang rimbun, bunga-bunga yang bermekaran. Semua terlihat seakan
terselimuti oleh warna putih kemerahjambuan. Sangat indah. Aku mengadahkan
salah satu tanganku. Bunga Cherry Blossom beterbangan oleh hembusan angin yang
sejuk dan salah satunya jatuh di telapak tanganku. Seperti biasa, senyumku
mulai merekah. Entah mengapa, setiap melihat bunga yang cantik nan indah ini
selalu membawa aura positif bagiku. Tapi hari ini perasaanku tak sebahagia
seperti dulu. Ada yang terus mengganjal di hatiku, entah apa. Membuatku sangat
tidak nyaman.
Aku
membawa bunga Cherry Blossom itu dalam genggamanku, sambil meneruskan langkahku
di tengah pengunjung lainnya yang sedang menikmati pagi ini di sepanjang jalan
Yunjunro. Kebahagiaan menyelimutiku saat kerap kali pandanganku mengarah pada
sebuah keluarga yang tengah meninkmati keindahan musim semi disini. Banyak anak
kecil berlarian kesana kemari dengan pengawasan orang tua mereka, berfoto ria,
menyusuri jalan bersama sang kekasih. Bahkan burung-burung kecil pun berkicau,
seakan tengah menyemarakkan kebahagiaan mereka. Meskipun aku tidak bisa
menikmati musim semi seperti mereka yang melewatkannya dengan orang-orang
terkasih, tapi aura kebahagiaan yang mereka pancarkan dapat merasuk ke dalam
hatiku yang terasa hampa. Bahagia itu memang sederhana.
Tadinya
Hyunseong ingin menemaniku berjalan-jalan setelah aku sampai di Korea. Tapi aku
memilih untuk pergi sendiri. Aku memang sempat mengabarinya satu hari sebelum
kepulanganku ke Korea padanya. Jujur, aku sangat ingin bertemu dengannya.
Melepas rindu selama lima tahun lamanya yang tak pernah saling bertemu. Juga
dengannya. Lee Jeongmin.
Aku
memilih duduk di kursi panjang berwarna putih tepat di bawah salah satu pohon
Cherry Blossom. Pandanganku lurus ke depan dengan tatapan yang kosong. Tapi
pikiranku dipenuhi oleh seseorang yang juga menyukai Cherry Blossom, sama
sepertiku. Semakin berusaha untuk melupakannya, justru aku semakin
mengingatnya. Sosok itu memang tak pernah bisa untuk kulupakan.
“Jeongmin..
Kau dimana? Kau sedang apa? Apa kau masih mengingatku? Apa kau merindukanku?”
Gumamku pelan.
‘Pasti tidak.’
Jeongmin
hilang ingatan. Jadi bagaimana bisa ia mengingatku atau bahkan merindukanku.
“Bahkan
aku tak dapat mengusirmu dari pikiranku selama lima tahun lamanya.” Kuhela napas
panjang kemudian menunduk. Aku memainkan jari-jemariku sedari tadi. Hingga tak
terasa air mata yang begitu hangat menetes dan jatuh di telapak tanganku.
“Aku
ada disini. Sedang memandangimu dari tempatku. Bahkan aku sangat mengenalmu.
Dan tentu saja aku sangat merindukanmu, Kim Hye Sang..”
Aku
membulatkan kedua mataku, pandanganku kembali lurus kedepan. Jantungku berdegup
kencang setelah mendengar suara itu. Suara lembut milik seseorang yang sangat
kukenal.
Tap..
Tap.. Tap..
Terdengar
langkah seseorang dari belakangku. Semakin lama langkah kaki itu semakin
terdengar. Kedua tangan yang kokoh memelukku dari belakang. Ia mengeratkan
pelukkannya sambil menopang dagu di bahu kiriku. Jantungku semakin berdegup
kencang. Apa ia bisa merasakannya? Bahkan aku sama sekali tidak tau siapa orang
yang memelukku secara tiba-tiba ini. Tapi aku yakin, orang ini adalah..
“Lee
Jeongmin!?” Gumamku pelan dengan suara yang parau. Tenggorokkanku terasa agak
serak.
“Aku
minta maaf.. Telah membiarkanmu pergi dari kehidupanku. Aku minta maaf, telah
membuatmu menunggu selama lima tahun lamanya. Dan aku juga benar-benar minta
maaf.. Karena aku terlalu lama untuk mengingat semuanya. Aku menyesal telah
membuatmu menunggu. Aku mohon maafkan aku..” Ujarnya dengan isak tangis yang
tertahan.
Kuraih
lengannya kemudian menggenggamnya dengan erat. Tangisku mulai pecah saat aku
benar-benar mengetahui bahwa orang ini adalah Jeongmin. Orang yang selalu ada
di dalam hatiku sampai kapanpun. Sampai ia kembali mengingatku.
‘Tuhan.. Inikah buah dari kesabaranku selama
lima tahun lamanya? Inikah hasilnya?’
“Aku
minta maaf atas kesalahanku hingga membuatmu harus kehilangan seluruh
ingatanmu. Aku minta maaf karena aku sudah meninggalkanmu yang jelas-jelas
harusnya aku berada disisimu. Aku benar-benar minta maaf karena aku masih
berani untuk mencintaimu atas apa yang pernah kulakukan padamu.”
“Aniya..”
Ia menggelengkan kepalanya dengan pelan, “Aku yang seharusnya lebih banyak
meminta maaf padamu. Aku yang lebih banyak melakukan kesalahan. Kau mau
memaafkanku, kan!?” Sambungnya.
Aku
mengangguk dengan cepat.
‘Tentu saja aku akan memaafkanmu Jeongmin..
Tentu saja.’
‘Tapi aku bersyukur karena pertaruhan itu
membuatmu mampu mencintaiku.’
Hye
Sang POV end
Author
POV
Kebahagiaan
sepertinya tengah dirasakan oleh Hye Sang dan Jeongmin. Hye Sang yang kembali
dipertemukan dengan cintanya, dan Jeongmin yang kembali dapat mengingat
semuanya tentang cintanya. Buah dari kesabaran Hye Sang selama ini mendapatkan
hasil yang setimpal. Dan tentu saja terasa tidak sia-sia.
Seseorang
seakan tengah meringis kesakitan dengan memejamkan kedua mata seraya
mengepalkan kedua tangannya. Orang itu seakan tengah diburu oleh amarahnya
sendiri. Wajahnya mulai merah akibat amara yang tak dapat ia kontrol. Air
matanya menetes lewat pelupuk matanya. Hal itu membuat kedua matanya terasa
perih. Hingga ia membuka kedua matanya lebar-lebar. Pandangannya kembali tertuju pada dua pasang kekasih yang sedang
merajut kembali kisah cinta mereka. merajut kembali kebahagiaan yang sempat
hilang selama bertahun-tahun. Namja berambut cokelat itu menepis air mata yang
hendak menetes, kemudian menghapus semua air mata yang membasahi wajahnya.
Perlahan, ia berusaha menark kedua sudut bibirnya hingga terbentuk sebuah
simpul senyum. Kakinya yang terasa kaku kini luluh lalu berlari menghampiri
kedua pasangan itu.
“Ya!”
Namja itu merangkul sahabatnya dari belakang.
“Ya!
Aish.. Hyunseong-ah.. Kau ini.. Selalu saja membuatku kaget.”
Hye
Sang menoleh. “Shim Hyunseong.. Aku sangat merindukanmu.” Ujar Hye Sang dengan aegyeo-nya. Sementara Jeongmin
memandangi kekasihnya seakan tak terima.
“Ya!
Seharusnya kau hanya memberikan aegyeo-mu
itu untukku saja!” Ketus Jeongmin seraya merangkul kekasihnya yang merekahkan
senyumnya.
Hyunseong
ikut tersenyum, “Ya ya! Kalian lupa, eoh, kalau disini ada aku? Aish.. Kalian
benar-benar sahabat yang menyebalkan!” Geram Hyunseong dengan raut wajah
menggemaskan.
Jeongmin
memandang sahabatnya lalu bangkit dari tempat duduknya dan merangkul sahabatnya
itu.
“Ya!
Baiklah.. Kencan kita ditunda karena ada sahabat terbaikku yang masih belum
memiliki pasangan, dan ingin bergabung dengan kita. Bagaimana chagi?”
Hye
Sang mengangguk lalu ketiga sahabat itu saling tertawa.
‘Aku tidak boleh egois ya!? Hye Sang memang
lebih mencintai Jeongmin dari padaku. Tapi walau bagaimanapun, aku tetap merasa
bahagia. Sahabat adalah sahabat. Dan sahabat sejati tak akan pernah menusuk
sahabatnya dari belakang hanya karena cinta.’ Ujar Hyunseong dalam hati. Ia
tersenyum dengan sangat tulus.
Kebahagiaan
benar-benar sedang dirasakan oleh ketiganya.
The end……………………………….
Gimana endingnya? >.< Entah
kenapa author seneng banget sama part ini (ending) :D
Sebenarnya sih ff ini lebih panjang
dari yang aku posting. Tapi berhubung takut para pembacanya boring dan
ceritanya terlalu bertele-tele, ya jadilah seperti ini hasilnya setelah di
edit-edit =D
Jangan bosan-bosan baca ff aku yaa
>.<
-Rae Hwa-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar