[FF] Yeoja dalam Lukisan Part 2 (end)
Rae
Hwa POV
Editor-ku
menyuruh agar aku datang ke gedung tempat ia bekerja siang ini. Sebenarnya hari
ini aku juga tidak ingin pergi untuk menemuinya. Namun ia agak mendesakku,
karena ia akan pergi ke Jepang besok. Dan ada hal penting yang ingin Ia
bicarakan padaku secepatnya.
Dan
hari ini hujan datang di waktu yang tidak tepat. Hujan deras turun saat aku tengah
berada diperjalanan pulang setelah menemui editor-ku. Salahku juga tidak
membawa mobil ataupun sekedar membawa payung. Ah, aku juga tidak menyangka akan
turun hujan hari ini. Padahal pagi tadi cuacanya masih sangat cerah. Matahari
juga bersinar dengan teriknya. Aku menutupi kepalaku menggunakan tasku. Aku
terus berlari dengan hati-hati, karena wedges yang kupakai bisa saja membuatku
jatuh dengan jalanan yang mulai licin. Namun langkahku berhenti, saat seorang
namja keluar dari supermarket dengan menggunakan sebuah payung berwarna biru
muda. Ia menoleh ke arahku. Seketika mataku terbelalak, juga tersentak.
“Minwoo-ya..”
Gumamku pelan.
Ia
menoleh ke arahku. Mungkin ia mendengar aku menggumamkan namanya, karena jarak
antara aku dengannya tidak begitu jauh. Aku tercengang, saat tiba-tiba saja ia
mendekat. Minwoo mengadahkan payung di atas kepalaku.
“Ikut
aku. Kau bisa sakit jika kehujanan seperti ini.”
Minwoo
melangkah terlebih dahulu, diikuti aku disampingnya. Ternyata ia masih berbaik
hati padaku. Ia tidak membiarkan aku kehujanan, karena ia tidak ingin aku
sakit. Meskipun nada bicara juga sikapnya terlihat begitu dingin.
Kami
terus melangkah tanpa suara. Tak ada obrolan sedikitpun ataupun hanya
menanyakan ‘kau dari mana?’, hingga kami sampai disebuah rumah yang tidak
begitu besar namun terkesan modern. Kami masuk ke dalam halaman rumah dan
membiarkan payung berwarna biru muda itu terpajang diteras. Minwoo membuka pintu
lalu masuk ke dalam, dan mengisyaratkanku untuk masuk ke dalam juga.
“Ini
rumahmu?” Aku memperhatikan kesekeliling ruang tamu, “Kau tinggal bersama
siapa?”
“Sendiri.”
Jawab Minwoo singkat sembari masuk ke dalam kamarnya. Ia kembali dengan membawa
sebuah handuk dan pakaian ganti, lalu menyerahkannya padaku. “Ini, pakailah.
Kamar mandinya ada disana.” Tunjuk Minwoo ke kamar mandi yang ada disudut
ruangan.
Aku
mengangguk lalu berjalan menuju kamar mandi yang baru saja ditunjuk oleh
Minwoo.
Rae
Hwa POV end
Author
POV
Minwoo
terduduk disofa dan memejamkan kedua matanya, mengusap wajah dengan sebelah
tangannya.
‘Kenapa
kau kembali disaat aku mulai menutup mata untukmu? Salahku juga membiarkanmu
ikut denganku, tadi. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu kehujanan seperti itu.
Aku tidak mau kau sakit. Karena jika kau sakit, aku tidak bisa untuk tidak
mengkhawatirkanmu.’ Batin Minwoo.
Rae
Hwa kembali, sudah mengenakan pakaian yang diberikan Minwoo, dan Minwoo
menyadari kehadirannya.
“Ah,
kau sudah selesai? Aku akan membuatkan makanan untukmu. Kau tunggu disini.”
Rae
Hwa mengangguk. Ia duduk di sofa sembari memperhatikan ke sekeliling ruangan.
Senyumnya merekah saat pandangannya tak sengaja melihat ke sebuah bingkai fotodi
meja dekat televisi. Ia beranjak dan mengambil bingkai foto itu lalu
mengelusnya. Sebuah foto kelulusannya bersama teman-teman SMA nya dulu. Ada
Minwoo juga di foto itu, karena mereka sekelas.
“Aku
merindukan saat-saat seperti dulu Minwoo-ya..” Rae Hwa meletakkan kembali
bingkai foto itu ke tempat semula, sementara ia membuka tirai jendela disisi
kanan ruangan. “Aish, hujannya masih saja turun. Hhh, semoga saja hujannya
cepat berhenti.” Ia menutup tirai itu, dan kembali ke sofa.
“Ini
makanan untukmu.”
Minwoo
datang dengan membawa sebuah nampan, dengan
beberapa makanan lengkap dengan minumannya, menyerahkannya kepada Rae
Hwa. Rae Hwa tersenyum tipis, menerima nampan itu dengan hati-hati dan
menaruhnya di meja. Tak perlu menunggu lagi, Rae Hwa langsung menyantap makanan
yang sudah disediakan oleh Minwoo.
Rae
Hwa mengalihkan pandangannya ke arah Minwoo. “Kau tidak makan?”
“Aku
sudah makan.” Jawab Minwoo singkat, terfokus dengan acara televisi yang ia
tonton.
Rae
Hwa melanjutkan makannya. Tapi lama-kelamaan ia merasa mengantuk. Dengan
membiarkan makanan yang tersisa sedikit itu terkapar dimeja, Rae Hwa membaringkan
tubuhnya di sofa. Sepuluh menit kemudian, Minwoo merasa ada yang agak aneh. Tak
terdengar lagi suara berisik Rae Hwa yang sedang makan. Ia menoleh,
menggelengkan kepalanya beberapa kali saat melihat Rae Hwa yang tengah
tertidur. Minwoo beranjak dan memindahkan Rae Hwa ke kamarnya. Membiarkan Rae
Hwa tidur disana.
Malam
menjelang. Rae Hwa sudah tertidur pulas, sementara Minwoo sendiri justru tidak
bisa tidur. Ia tengah memikirkan yeoja yang sedang tidur dikamarnya itu.
Bayangan akan kenangan manis bersamanya. Padahal Minwoo tau, ia sudah mulai
melupakan semuanya. Mengikis sedikit demi sedikit rasa sakit dihatinya. Tapi
apa yang bisa Minwoo perbuat saat ini? Ketika Rae Hwa, yeoja yang ia cintai
empat tahun silam, yang telah menghilang tak memberi kabar sama sekali, kini muncul
lagi dikehidupannya. Ada dirumahnya, sekarang. Ia sendiri tidak tau jawabannya.
Ia
berusaha memejamkan kedua matanya dengan paksa. Berharap agar sakit dikepalanya
bisa menghilang, akibat terlalu memikirkan Rae Hwa. Setelah bersusah payah
melawan insomnianya, Minwoo pun berhasil tertidur, disofa ruang santainya.
Lima
belas menit kemudian, Rae Hwa terbangun karena rasa ingin pipisnya tidak bisa
diitahan. Mau tak mau ia bangun dan pergi ke kamar mandi di sudut rumah. Saat
ia hendak kembali, matanya tak sengaja melirik ke arah ruang santai. Ia
mendapati Minwoo yang sedang tertidur di sofa. Hanya mengenakan kaos lengan
pendek, juga celana jeans pendek. Rae Hwa berlari kecil ke kamar, mengambil
selimut tebal lalu kembali ke ruang santai untuk menyelimuti tubuh Minwoo, agar
tidak kedinginan. Ia mengangkat sebelah tangannya, hendak mengelus kepala
Minwoo. Namu ia mengurungkan niatnya. Dengan jantung yang berdegup kencang, ia
memberanikan diri untuk mencium hangat bibir Minwoo.
“Jaljayo
Minwoo-ya. Semoga kau mimpi indah..”
Rae
Hwa pun kembali ke kamar dan melanjutkan tidurnya.
Pagi
harinya, Rae Hwa terbangun saat telinganya sayup-sayup terdengar suara dari
luar kamar. Ia bangkit dan mendapati televisi yang tengah menyala, tapi tidak
ada siapa-siapa. Tadinya ia hendak pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan.
Tapi sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka sedikit menarik perhatiannya. Ia
berjalan mendekati ruangan itu dan membuka pintunya lebar-lebar. Betapa
terkejutnya Rae Hwa saat memasuki ruangan itu. Ia terpana, seketika matanya
berbinar. Kakinya terasa kaku, seakan tak mampu melanjutkan langkahnya, karena
keterkejutannya saat melihat lukisan-lukisan yang terpajang rapih diruangan
itu. Ditata sedemikian indahnya. Dengan perlahan, ia berjalan menuju sebuah
lukisan yang belum jadi, belum disempurnakan oleh si pembuatnya. Rae Hwa hendak
merabanya, namun sebuah tangan menggenggam lengan Rae Hwa dan menariknya
keluar.
“Jangan
masuk ke ruangan itu tanpa seizinku!” Bentak Minwoo saat mereka sudah keluar dari ruangan itu.
“Mianhaeyo..”
Ujar Rae Hwa dengan rasa bersalah.
Minwoo
melepaskan genggamannya, mengalihkan pandangan dari Rae Hwa.
“K-kau
melukis semua lukisan itu? Lukisan diriku?” Rae Hwa menunjuk dirinya sendiri.
“Waeyo?”
Tatap Minwoo pada Rae Hwa. “Salah jika aku melukis yeoja yang aku cintai?”
“Mwoya?
Jadi kau masih mencintaiku?”
“Aku?”
Tunjuk Minwoo pada dirinya sendiri. “Bagaimana bisa aku masih mencintai yeoja
yang sudah empat tahun pergi meninggalkanku tanpa kabar!? Yang benar saja!?”
“Lantas,
untuk apa kau melukis diriku sebanyak itu, kalau kau sudah tidak mencintaiku
lagi?”
“Untuk
melupakanmu!” Tatap Minwoo pada Rae Hwa.
“…”
Rae Hwa tidak bergeming.
“Kau
tidak perlu tau alasan utama mengapa aku melukis dirimu sebanyak itu. Yang
jelas, ada banyak perasaan yang terdapat disemua lukisan yang aku buat itu.
Terutama, ada luka yang belum terobati hingga saat ini. Dan dengan
lukisan-lukisan yang aku buat itu, membuatku menjadi lebih kuat dari
sebelumnya. Membuatku mengerti artinya melupakan seseorang. Dengan caraku
sendiri.”
“K-kau
menncoba melupakanku?”
“Ne.
Setelah aku mendapat kabar kalau kau bertunangan dengan namja pilihan orang
tuamu, tentu saja aku tidak memiliki kesempatan lagi untuk bisa terus
bersamamu, memilikimu seutuhnya. Tentu saja kau akan terus bersamanya,
selamanya. Padahal kau sendiri yang menerimaku saat itu, sebelum kau pergi.
Jadi untuk apa aku berharap padamu?” Minwoo menghela napas panjang.
“Aku
tau aku salah. Dan aku mengakui itu. Aku memang bertunangan dengan namja itu. Tapi
sekarang kami sudah putus. Aku tidak ada hubungan apa-apa lagi dengannya. Dia
mengkhianatiku..” Rae Hwa menunduk, tak mampu meneruskan kalimatnya.
“Lantas,
sekarang kau kembali ke Korea, untuk melupakan semua kenanganmu bersama mantan
tunanganmu itu? Lalu kenapa kini kau selalu datang dihadapanku, eoh?”
“Aku
masih menyayangimu Minwoo-ya. Aku ingin memperbaiki hubungan kita.”
“Mworago?
Memperbaiki hubungan kita? Untuk apa? Tak ada lagi yang perlu diperbaiki. Kau
sudah terlambat! Kau tau? Kau datang disaat aku sudah terbiasa tanpamu.
Melupakan semua kenangan yang pernah kita lakukan saat di SMA. Melupakan perih
yang kau buat. Kau datang dan pergi seenaknya. Dan sekarang kau kembali lagi.
Kau bilang mau memperbaiki hubungan kita? Kau ini anggap aku sebagai apa, eoh?
Kau ingin menjadikan aku sebagai pelampiasanmu? Begitu?” Amarah Minwoo mulai
tidak terkendali.
“Sebenarnya
aku sangat merindukanmu. Aku merindukanmu! Aku ingin menangis di bahumu. Aku
ingin menangis!” Rae Hwa meneteskan air matanya.
“Aku
tersenyum mencoba untuk bertahan. Namun pikirianku masih belum bisa
melakukannya. Aku mohon, jangan terlihat baik untukku. Berhenti jadi terlalu
baik untukku! Jangan baik padaku, hatiku sakit. Aku terus memikirkanmu, jadi berhenti
muncul di pandanganku!”
Minwoo
meunduk. “Aku terlalu lemah.. Jadi aku hanya bisa membayangkanmu. Aku melukismu
lagi sambil menghapus banyangan itu. Sekali lagi, ini terlalu manis Sehingga
kau membuatku gila. Kau menempatkanku pada kesakitan. Jadi aku lebih semakin
gila. Jangan terlihat baik untukku. Jangan muncul di depanku lagi!”
“Mwo?
Kau ingin aku pergi? Lalu kenapa selama empat tahun ini, kau masih saja
sendiri? Bukan berartikah kau menungguku kembali, eoh?”
“Untuk
melupakanmu saja sesulit itu, bagaimana bisa aku menerima yeoja lain dalam
kehidupanku!?”
“Jadi,
kau memang benar-benar ingin melupakanku? Ku kira kau masih setia menungguku.
Ku kira cintamu begitu besar untukku, tapi..” Rae Hwa menunduk, lalu memandang
Minwoo lagi, “Baiklah, aku akan pergi, jika itu yang kau mau!” Ia membalikkan
badan dan melangkah dengan cepat.
Minwoo
tak menjawab. Padahal didalam hatinya, ada banyak kalimat jawaban yang ingin ia
utarakan pada Rae Hwa. Namun sepertinya ia tidak perlu mengatakannya. Ia
menunduk sebentar, lalu mengangkat kepala, mengalihkan pandangannya ke sebuah
guci disisi kanan dekat dengan pintu ruang lukisnya. Ia mengambil guci yang
ukurannya lumayan besar itu, membawanya dan menghampiri Rae Hwa yang hendak
keluar dari rumah Minwoo. Namun Minwoo mengangkat guci itu dan memukulnya ke
kepala Rae Hwa, hingga terjatuh dan tergeletak dilantai. Ia melepaskan guci itu
dari genggamannya, hingga jatuh dan pecah, berserakan dilantai. Kedua lututnya
melemas, membuatnya terjatuh duduk dilantai memandang Rae Hwa yang terkapar tak
berdaya dengan darah yang mulai mengucur dari kepalanya.
Ia
mengulurkan kedua tangannya, meraih kepala Rae Hwa dan mendekapnya. Air mata
mulai menetes.
“Arrrrggghhh…”
Teriak Minwoo, masih mendekap Rae Hwa. “Mianhae, jeongmal mianhae Rae Hwa..
Aku.. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk melukaimu.. Rae Hwa..”
Agak
lama Minwoo mendekap Rae Hwa tanpa membawanya ke Rumah Sakit. Ia tetap
membiarkan keadaan Rae Hwa seperti itu. Mungkin nyawanya pun tak dapat
diselamatkan. Namun, Minwoo melepaskan dekapannya dari Rae Hwa. Raut wajahnya
beurbah penuh marah. Ia menyeret tubuh Rae Hwa ke ruang lukis pribadinya,
meletakkan tubuh Rae Hwa begitu saja dilantai. Minwoo keluar selama beberapa
menit dan kembali dengan membawa sebuah suntikan dan wadah yang ukurannya
lumayan besar. Ia menyuntikkan sesuatu ke tubuh Rae Hwa, dan mengeluarkan
seluruh darah dari dalam tubuh Rae Hwa, menampungnya didalam wadah yang tadi ia
bawa. Setelah wadah itu sudah terisi penuh oleh darah milik Rae Hwa, Minwoo
membawa tubuh Rae Hwa ke kamarnya dan membaringkannya di tempat tidur.
Sementara ia kembali ke ruang lukisnya.
Ia
melanjutkan lukisan terakhir yang ia buat dengan menggunakan cat air yang
dicampur dengan warna darah itu. Sebelumnya, ia sempat memasukkan cairan ke
dalam wadah berisi darah itu, agar darah yang ia gunakan untuk menjadi bahan
cat lukisnya tidak menimbulkan bau. Dengan penuh keseriusan dan konsentrasi
yang tinggi, ia terus melukis. Ia ingin lukisan terakhirnya itu terlihat nampak
bagus dan hidup. Dengan unsur darah Rae Hwa didalamnya.
Dua
jam sudah Minwoo menyelesaikan lukisannya. Lukisan itu terlihat sangat bagus,
dan memang terlihat lebih hidup dari lukisan-lukisan yang ia buat sebelumnya.
Ada Rae Hwa didalam lukisan itu. Ia tengah berdiri disebuah jembatan besar,
dengan mengenakan gaun merah yang panjang. Rae Hwa terlihat sangat cantik
dengan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai. Namun wajahnya menampakkan
kesedihan, dengan kepala yang menunduk. Disamping kanan dan kiri jembatan, ada
sebuah sungai yang mengalir air berwarna merah pekat, sama seperti warna gaun
yang dikenakan oleh Rae Hwa. Sementara ada gambar langit pada bagian paling
atas lukisan, yang terlihat gelap. Seperti hanya ada unsur warna merah dan
hitam pada lukisan itu. Gelap, seakan menggambarkan perasaan hati Minwoo saat
ini, saat sedang kalut.
Minwoo
menghela napas panjang. Tersenyum puas karena lukisannya sudah selesai, sebelum
pameran lukisannya di adakan. Ia menaruh kuas dan wadah cat warnanya dimeja.
Lalu ia mengambil sebuah kertas dan menulis beberapa kalimat dikertas itu,
menggunakan darah milik Rae Hwa yang masih tersisa. Ia meletakkan kertas itu
disisi kanvas lukisan terakhirnya itu, lalu meninggalkan ruangan itu tanpa
sempat membereskan dan membersihkannya.
Minwoo
berjalan menuju kamarnya, setelah ia mengambil sebuah botol kecil dengan cairan
berwarna bening didalamnya. Ia memandang Rae Hwa yang kini terbujur kaku di
atas tempat tidurnya. Pandangannya beralih ke botol yang ada digenggamannya. Ia
membuka tutup botol itu dan menenggaknya hingga habis. Lalu Minwoo naik ke atas
tempat tidur, mencium bibir kecil Rae Hwa dan membaringkan tubuhnya disamping
tubuh Rae Hwa. Menggenggam salah satu tangan Rae Hwa sembari memejamkan kedua
matanya.
Aku
mencintaimu dari pertama kali aku mengenalmu. Aku sudah memulainya saat itu.
Dan sesuatu yang sudah aku mulai, tidak mungkin aku hentikan ditengah
perjalanan. Maka dari itu, sekarang, aku ingin mengakhiri yang sudah aku mulai.
Aku memang tidak bisa memilikimu di dunia, jadi aku putuskan untuk memilikimu
di surga. Itulah cintaku yang sebenarnya untukmu.” Gumam Minwoo.
Selang
beberapa menit, keluar cairan berwarna putih dari dalam mulutnya. Namun matanya
tetap terpejam. Wajahnya langsung memucat, dengan seluruh tubuh yang mulai
kaku.
Dalam kertas yang ditulis Minwoo..
Terimakasih telah menghidupkan
lukisan terakhirku, Rae Hwa.
The end……………..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar