Sabtu, 03 Januari 2015

[FF] Yeoja dalam Lukisan Part 2


[FF] Yeoja dalam Lukisan Part 2 (end)


Rae Hwa POV

                Editor-ku menyuruh agar aku datang ke gedung tempat ia bekerja siang ini. Sebenarnya hari ini aku juga tidak ingin pergi untuk menemuinya. Namun ia agak mendesakku, karena ia akan pergi ke Jepang besok. Dan ada hal penting yang ingin Ia bicarakan padaku secepatnya.
                Dan hari ini hujan datang di waktu yang tidak tepat. Hujan deras turun saat aku tengah berada diperjalanan pulang setelah menemui editor-ku. Salahku juga tidak membawa mobil ataupun sekedar membawa payung. Ah, aku juga tidak menyangka akan turun hujan hari ini. Padahal pagi tadi cuacanya masih sangat cerah. Matahari juga bersinar dengan teriknya. Aku menutupi kepalaku menggunakan tasku. Aku terus berlari dengan hati-hati, karena wedges yang kupakai bisa saja membuatku jatuh dengan jalanan yang mulai licin. Namun langkahku berhenti, saat seorang namja keluar dari supermarket dengan menggunakan sebuah payung berwarna biru muda. Ia menoleh ke arahku. Seketika mataku terbelalak, juga tersentak.
                “Minwoo-ya..” Gumamku pelan.
                Ia menoleh ke arahku. Mungkin ia mendengar aku menggumamkan namanya, karena jarak antara aku dengannya tidak begitu jauh. Aku tercengang, saat tiba-tiba saja ia mendekat. Minwoo mengadahkan payung di atas kepalaku.
                “Ikut aku. Kau bisa sakit jika kehujanan seperti ini.”
                Minwoo melangkah terlebih dahulu, diikuti aku disampingnya. Ternyata ia masih berbaik hati padaku. Ia tidak membiarkan aku kehujanan, karena ia tidak ingin aku sakit. Meskipun nada bicara juga sikapnya terlihat begitu dingin.
                Kami terus melangkah tanpa suara. Tak ada obrolan sedikitpun ataupun hanya menanyakan ‘kau dari mana?’, hingga kami sampai disebuah rumah yang tidak begitu besar namun terkesan modern. Kami masuk ke dalam halaman rumah dan membiarkan payung berwarna biru muda itu terpajang diteras. Minwoo membuka pintu lalu masuk ke dalam, dan mengisyaratkanku untuk masuk ke dalam juga.
                “Ini rumahmu?” Aku memperhatikan kesekeliling ruang tamu, “Kau tinggal bersama siapa?”
                “Sendiri.” Jawab Minwoo singkat sembari masuk ke dalam kamarnya. Ia kembali dengan membawa sebuah handuk dan pakaian ganti, lalu menyerahkannya padaku. “Ini, pakailah. Kamar mandinya ada disana.” Tunjuk Minwoo ke kamar mandi yang ada disudut ruangan.
                Aku mengangguk lalu berjalan menuju kamar mandi yang baru saja ditunjuk oleh Minwoo.

Rae Hwa POV end

Author POV

                Minwoo terduduk disofa dan memejamkan kedua matanya, mengusap wajah dengan sebelah tangannya.
                ‘Kenapa kau kembali disaat aku mulai menutup mata untukmu? Salahku juga membiarkanmu ikut denganku, tadi. Tapi aku tidak bisa membiarkanmu kehujanan seperti itu. Aku tidak mau kau sakit. Karena jika kau sakit, aku tidak bisa untuk tidak mengkhawatirkanmu.’ Batin Minwoo.
                Rae Hwa kembali, sudah mengenakan pakaian yang diberikan Minwoo, dan Minwoo menyadari kehadirannya.
                “Ah, kau sudah selesai? Aku akan membuatkan makanan untukmu. Kau tunggu disini.”
                Rae Hwa mengangguk. Ia duduk di sofa sembari memperhatikan ke sekeliling ruangan. Senyumnya merekah saat pandangannya tak sengaja melihat ke sebuah bingkai fotodi meja dekat televisi. Ia beranjak dan mengambil bingkai foto itu lalu mengelusnya. Sebuah foto kelulusannya bersama teman-teman SMA nya dulu. Ada Minwoo juga di foto itu, karena mereka sekelas.
                “Aku merindukan saat-saat seperti dulu Minwoo-ya..” Rae Hwa meletakkan kembali bingkai foto itu ke tempat semula, sementara ia membuka tirai jendela disisi kanan ruangan. “Aish, hujannya masih saja turun. Hhh, semoga saja hujannya cepat berhenti.” Ia menutup tirai itu, dan kembali ke sofa.
                “Ini makanan untukmu.”
                Minwoo datang dengan membawa sebuah nampan, dengan  beberapa makanan lengkap dengan minumannya, menyerahkannya kepada Rae Hwa. Rae Hwa tersenyum tipis, menerima nampan itu dengan hati-hati dan menaruhnya di meja. Tak perlu menunggu lagi, Rae Hwa langsung menyantap makanan yang sudah disediakan oleh Minwoo.
                Rae Hwa mengalihkan pandangannya ke arah Minwoo. “Kau tidak makan?”
                “Aku sudah makan.” Jawab Minwoo singkat, terfokus dengan acara televisi yang ia tonton.
                Rae Hwa melanjutkan makannya. Tapi lama-kelamaan ia merasa mengantuk. Dengan membiarkan makanan yang tersisa sedikit itu terkapar dimeja, Rae Hwa membaringkan tubuhnya di sofa. Sepuluh menit kemudian, Minwoo merasa ada yang agak aneh. Tak terdengar lagi suara berisik Rae Hwa yang sedang makan. Ia menoleh, menggelengkan kepalanya beberapa kali saat melihat Rae Hwa yang tengah tertidur. Minwoo beranjak dan memindahkan Rae Hwa ke kamarnya. Membiarkan Rae Hwa tidur disana.

                Malam menjelang. Rae Hwa sudah tertidur pulas, sementara Minwoo sendiri justru tidak bisa tidur. Ia tengah memikirkan yeoja yang sedang tidur dikamarnya itu. Bayangan akan kenangan manis bersamanya. Padahal Minwoo tau, ia sudah mulai melupakan semuanya. Mengikis sedikit demi sedikit rasa sakit dihatinya. Tapi apa yang bisa Minwoo perbuat saat ini? Ketika Rae Hwa, yeoja yang ia cintai empat tahun silam, yang telah menghilang tak memberi kabar sama sekali, kini muncul lagi dikehidupannya. Ada dirumahnya, sekarang. Ia sendiri tidak tau jawabannya.
                Ia berusaha memejamkan kedua matanya dengan paksa. Berharap agar sakit dikepalanya bisa menghilang, akibat terlalu memikirkan Rae Hwa. Setelah bersusah payah melawan insomnianya, Minwoo pun berhasil tertidur, disofa ruang santainya.

                Lima belas menit kemudian, Rae Hwa terbangun karena rasa ingin pipisnya tidak bisa diitahan. Mau tak mau ia bangun dan pergi ke kamar mandi di sudut rumah. Saat ia hendak kembali, matanya tak sengaja melirik ke arah ruang santai. Ia mendapati Minwoo yang sedang tertidur di sofa. Hanya mengenakan kaos lengan pendek, juga celana jeans pendek. Rae Hwa berlari kecil ke kamar, mengambil selimut tebal lalu kembali ke ruang santai untuk menyelimuti tubuh Minwoo, agar tidak kedinginan. Ia mengangkat sebelah tangannya, hendak mengelus kepala Minwoo. Namu ia mengurungkan niatnya. Dengan jantung yang berdegup kencang, ia memberanikan diri untuk mencium hangat bibir Minwoo.
                “Jaljayo Minwoo-ya. Semoga kau mimpi indah..”
                Rae Hwa pun kembali ke kamar dan melanjutkan tidurnya.


                Pagi harinya, Rae Hwa terbangun saat telinganya sayup-sayup terdengar suara dari luar kamar. Ia bangkit dan mendapati televisi yang tengah menyala, tapi tidak ada siapa-siapa. Tadinya ia hendak pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Tapi sebuah ruangan dengan pintu yang terbuka sedikit menarik perhatiannya. Ia berjalan mendekati ruangan itu dan membuka pintunya lebar-lebar. Betapa terkejutnya Rae Hwa saat memasuki ruangan itu. Ia terpana, seketika matanya berbinar. Kakinya terasa kaku, seakan tak mampu melanjutkan langkahnya, karena keterkejutannya saat melihat lukisan-lukisan yang terpajang rapih diruangan itu. Ditata sedemikian indahnya. Dengan perlahan, ia berjalan menuju sebuah lukisan yang belum jadi, belum disempurnakan oleh si pembuatnya. Rae Hwa hendak merabanya, namun sebuah tangan menggenggam lengan Rae Hwa dan menariknya keluar.
                “Jangan masuk ke ruangan itu tanpa seizinku!” Bentak Minwoo  saat mereka sudah keluar dari ruangan itu.
                “Mianhaeyo..” Ujar Rae Hwa dengan rasa bersalah.
                Minwoo melepaskan genggamannya, mengalihkan pandangan dari Rae Hwa.
                “K-kau melukis semua lukisan itu? Lukisan diriku?” Rae Hwa menunjuk dirinya sendiri.
                “Waeyo?” Tatap Minwoo pada Rae Hwa. “Salah jika aku melukis yeoja yang aku cintai?”
                “Mwoya? Jadi kau masih mencintaiku?”
                “Aku?” Tunjuk Minwoo pada dirinya sendiri. “Bagaimana bisa aku masih mencintai yeoja yang sudah empat tahun pergi meninggalkanku tanpa kabar!? Yang benar saja!?”
                “Lantas, untuk apa kau melukis diriku sebanyak itu, kalau kau sudah tidak mencintaiku lagi?”
                “Untuk melupakanmu!” Tatap Minwoo pada Rae Hwa.
                “…” Rae Hwa tidak bergeming.
                “Kau tidak perlu tau alasan utama mengapa aku melukis dirimu sebanyak itu. Yang jelas, ada banyak perasaan yang terdapat disemua lukisan yang aku buat itu. Terutama, ada luka yang belum terobati hingga saat ini. Dan dengan lukisan-lukisan yang aku buat itu, membuatku menjadi lebih kuat dari sebelumnya. Membuatku mengerti artinya melupakan seseorang. Dengan caraku sendiri.”
                “K-kau menncoba melupakanku?”
                “Ne. Setelah aku mendapat kabar kalau kau bertunangan dengan namja pilihan orang tuamu, tentu saja aku tidak memiliki kesempatan lagi untuk bisa terus bersamamu, memilikimu seutuhnya. Tentu saja kau akan terus bersamanya, selamanya. Padahal kau sendiri yang menerimaku saat itu, sebelum kau pergi. Jadi untuk apa aku berharap padamu?” Minwoo menghela napas panjang.
                “Aku tau aku salah. Dan aku mengakui itu. Aku memang bertunangan dengan namja itu. Tapi sekarang kami sudah putus. Aku tidak ada hubungan apa-apa lagi dengannya. Dia mengkhianatiku..” Rae Hwa menunduk, tak mampu meneruskan kalimatnya.
                “Lantas, sekarang kau kembali ke Korea, untuk melupakan semua kenanganmu bersama mantan tunanganmu itu? Lalu kenapa kini kau selalu datang dihadapanku, eoh?”
                “Aku masih menyayangimu Minwoo-ya. Aku ingin memperbaiki hubungan kita.”
                “Mworago? Memperbaiki hubungan kita? Untuk apa? Tak ada lagi yang perlu diperbaiki. Kau sudah terlambat! Kau tau? Kau datang disaat aku sudah terbiasa tanpamu. Melupakan semua kenangan yang pernah kita lakukan saat di SMA. Melupakan perih yang kau buat. Kau datang dan pergi seenaknya. Dan sekarang kau kembali lagi. Kau bilang mau memperbaiki hubungan kita? Kau ini anggap aku sebagai apa, eoh? Kau ingin menjadikan aku sebagai pelampiasanmu? Begitu?” Amarah Minwoo mulai tidak terkendali.
                “Sebenarnya aku sangat merindukanmu. Aku merindukanmu! Aku ingin menangis di bahumu. Aku ingin menangis!” Rae Hwa meneteskan air matanya.
                “Aku tersenyum mencoba untuk bertahan. Namun pikirianku masih belum bisa melakukannya. Aku mohon, jangan terlihat baik untukku. Berhenti jadi terlalu baik untukku! Jangan baik padaku, hatiku sakit. Aku terus memikirkanmu, jadi berhenti muncul di pandanganku!”
                Minwoo meunduk. “Aku terlalu lemah.. Jadi aku hanya bisa membayangkanmu. Aku melukismu lagi sambil menghapus banyangan itu. Sekali lagi, ini terlalu manis Sehingga kau membuatku gila. Kau menempatkanku pada kesakitan. Jadi aku lebih semakin gila. Jangan terlihat baik untukku. Jangan muncul di depanku lagi!”
                “Mwo? Kau ingin aku pergi? Lalu kenapa selama empat tahun ini, kau masih saja sendiri? Bukan berartikah kau menungguku kembali, eoh?”
                “Untuk melupakanmu saja sesulit itu, bagaimana bisa aku menerima yeoja lain dalam kehidupanku!?”
                “Jadi, kau memang benar-benar ingin melupakanku? Ku kira kau masih setia menungguku. Ku kira cintamu begitu besar untukku, tapi..” Rae Hwa menunduk, lalu memandang Minwoo lagi, “Baiklah, aku akan pergi, jika itu yang kau mau!” Ia membalikkan badan dan melangkah dengan cepat.
                Minwoo tak menjawab. Padahal didalam hatinya, ada banyak kalimat jawaban yang ingin ia utarakan pada Rae Hwa. Namun sepertinya ia tidak perlu mengatakannya. Ia menunduk sebentar, lalu mengangkat kepala, mengalihkan pandangannya ke sebuah guci disisi kanan dekat dengan pintu ruang lukisnya. Ia mengambil guci yang ukurannya lumayan besar itu, membawanya dan menghampiri Rae Hwa yang hendak keluar dari rumah Minwoo. Namun Minwoo mengangkat guci itu dan memukulnya ke kepala Rae Hwa, hingga terjatuh dan tergeletak dilantai. Ia melepaskan guci itu dari genggamannya, hingga jatuh dan pecah, berserakan dilantai. Kedua lututnya melemas, membuatnya terjatuh duduk dilantai memandang Rae Hwa yang terkapar tak berdaya dengan darah yang mulai mengucur dari kepalanya.
                Ia mengulurkan kedua tangannya, meraih kepala Rae Hwa dan mendekapnya. Air mata mulai menetes.
                “Arrrrggghhh…” Teriak Minwoo, masih mendekap Rae Hwa. “Mianhae, jeongmal mianhae Rae Hwa.. Aku.. Aku benar-benar tidak bermaksud untuk melukaimu.. Rae Hwa..”

                Agak lama Minwoo mendekap Rae Hwa tanpa membawanya ke Rumah Sakit. Ia tetap membiarkan keadaan Rae Hwa seperti itu. Mungkin nyawanya pun tak dapat diselamatkan. Namun, Minwoo melepaskan dekapannya dari Rae Hwa. Raut wajahnya beurbah penuh marah. Ia menyeret tubuh Rae Hwa ke ruang lukis pribadinya, meletakkan tubuh Rae Hwa begitu saja dilantai. Minwoo keluar selama beberapa menit dan kembali dengan membawa sebuah suntikan dan wadah yang ukurannya lumayan besar. Ia menyuntikkan sesuatu ke tubuh Rae Hwa, dan mengeluarkan seluruh darah dari dalam tubuh Rae Hwa, menampungnya didalam wadah yang tadi ia bawa. Setelah wadah itu sudah terisi penuh oleh darah milik Rae Hwa, Minwoo membawa tubuh Rae Hwa ke kamarnya dan membaringkannya di tempat tidur. Sementara ia kembali ke ruang lukisnya.
                Ia melanjutkan lukisan terakhir yang ia buat dengan menggunakan cat air yang dicampur dengan warna darah itu. Sebelumnya, ia sempat memasukkan cairan ke dalam wadah berisi darah itu, agar darah yang ia gunakan untuk menjadi bahan cat lukisnya tidak menimbulkan bau. Dengan penuh keseriusan dan konsentrasi yang tinggi, ia terus melukis. Ia ingin lukisan terakhirnya itu terlihat nampak bagus dan hidup. Dengan unsur darah Rae Hwa didalamnya.
                Dua jam sudah Minwoo menyelesaikan lukisannya. Lukisan itu terlihat sangat bagus, dan memang terlihat lebih hidup dari lukisan-lukisan yang ia buat sebelumnya. Ada Rae Hwa didalam lukisan itu. Ia tengah berdiri disebuah jembatan besar, dengan mengenakan gaun merah yang panjang. Rae Hwa terlihat sangat cantik dengan rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai. Namun wajahnya menampakkan kesedihan, dengan kepala yang menunduk. Disamping kanan dan kiri jembatan, ada sebuah sungai yang mengalir air berwarna merah pekat, sama seperti warna gaun yang dikenakan oleh Rae Hwa. Sementara ada gambar langit pada bagian paling atas lukisan, yang terlihat gelap. Seperti hanya ada unsur warna merah dan hitam pada lukisan itu. Gelap, seakan menggambarkan perasaan hati Minwoo saat ini, saat sedang kalut.
                Minwoo menghela napas panjang. Tersenyum puas karena lukisannya sudah selesai, sebelum pameran lukisannya di adakan. Ia menaruh kuas dan wadah cat warnanya dimeja. Lalu ia mengambil sebuah kertas dan menulis beberapa kalimat dikertas itu, menggunakan darah milik Rae Hwa yang masih tersisa. Ia meletakkan kertas itu disisi kanvas lukisan terakhirnya itu, lalu meninggalkan ruangan itu tanpa sempat membereskan dan membersihkannya.
                Minwoo berjalan menuju kamarnya, setelah ia mengambil sebuah botol kecil dengan cairan berwarna bening didalamnya. Ia memandang Rae Hwa yang kini terbujur kaku di atas tempat tidurnya. Pandangannya beralih ke botol yang ada digenggamannya. Ia membuka tutup botol itu dan menenggaknya hingga habis. Lalu Minwoo naik ke atas tempat tidur, mencium bibir kecil Rae Hwa dan membaringkan tubuhnya disamping tubuh Rae Hwa. Menggenggam salah satu tangan Rae Hwa sembari memejamkan kedua matanya.
                Aku mencintaimu dari pertama kali aku mengenalmu. Aku sudah memulainya saat itu. Dan sesuatu yang sudah aku mulai, tidak mungkin aku hentikan ditengah perjalanan. Maka dari itu, sekarang, aku ingin mengakhiri yang sudah aku mulai. Aku memang tidak bisa memilikimu di dunia, jadi aku putuskan untuk memilikimu di surga. Itulah cintaku yang sebenarnya untukmu.” Gumam Minwoo.
                Selang beberapa menit, keluar cairan berwarna putih dari dalam mulutnya. Namun matanya tetap terpejam. Wajahnya langsung memucat, dengan seluruh tubuh yang mulai kaku.

                Dalam kertas yang ditulis Minwoo..
                Terimakasih telah menghidupkan lukisan terakhirku, Rae Hwa.

The end……………..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

My Strength

My Strength